Senin, 12 Maret 2012

Nostalgia Nonton Wayang Bersama Bung Karno 5th June 2010 | By: slamet wijadi Bung Karno Wayang Bung Karno dengan tokoh idolanya Sang Gathutkaca di dampingi Walikota Jakarta Soediro Kejadiannya sudah berlalu sekitar 50 tahunan, sekitar permulaan tahun ‘60-an, namun dalam ingatan saya sepertinya baru kemarin saja.Tempatnya di Istana Negara, waktunya suatu malam Minggu. Dalangnya Ki Gitosewoko, dalang kesayangan Bung Karno (BK) yang kebetulan juga berasal dari Blitar. Karawitan RRI Studio Jakarta pimpinan Pak Sukiman dengan waranggana nyi Tjondrolukito dan teamnya. Lakon, pilihan BK atas usul ki Dalang, yang penting harus ada kiprah Sang Gathutkaca, tokoh wayang idola BK. Memang ini hak dari BK karena beliau yang punya gawe, nanggap wayang, rata2 sebulan sekali di Istana Negara, dan ngundang sekitar 100-an undangan untuk menemani dan menikmati malam Minggu bersama. Sukarno Mas Sutomo, pejabat protokol istana yang mengatur pertunjukkan wayang bersalaman dengan Bung Karno. Siapa yang beruntung dapat undangan? Sesungguhnya setiap orang yang berminat bisa minta Sekretariat Negara, sama sekali tidak ada kekhususan, namun karena jumlahnya terbatas biasanya lalu berlaku sistem teman “orang dalam” Sekneg, khususnya protokol istana. Yang saya tahu pasti, undangan itu diberikan secara gratis, tanpa embel2 apapun. Saya sendiri kebetulan waktu itu diperbantukan oleh Deplu ke Sekretariat Dewan Pertimbangan Agung/Sekneg, sehingga memiliki info awal bila akan ada wayangan, dan tanpa membuang waktu menghubungi teman “orang dalam” untuk memperoleh undangan. Pukul tujuh sore para undangan sudah harus masuk Istana Negara lewat pintu belakang Jalan Segara/Veteran, cukup dengan menunjukkan kartu undangan langsung dipersilahkan masuk menuju ruang pagelaran wayang, hampir tanpa pemeriksaan keamanan. Sungguh berbeda dengan keadaan sekarang, jaman itu masih “sederhana dan aman”. Sekitar pukul setengah delapan, gamelan mulai ditabuh. Pertunjukan akan dimulai pukul delapan. Menjelang pukul delapan mulai talu, semetara ki Dalang sudah siap di tempat. Selesai talu, BK masuk ke ruang pertunjukan diiringi dua/tiga pejabat penggemar wayang dan ajudan, semua penonton berdiri, BK kasih salam dengan senyumnya yang khas kepada para penonton dan langsung duduk di tempat yang disediakan. Demi keamanan, BK duduk di depan/terlindung oleh pilar, di kiri kanan terlihat satu dua pejabat dan teman-teman Bung Karno penggemar wayang. Suasana nampak akrab layaknya orang orang yang sedang menonton wayang, santai tanpa rasa tegang. Saya sendiri waktu itu duduk hanya beberapa meter dari BK arah samping kiri belakang, tidak terasa bahwa di dekat saya duduk orang nomer satu di Republik ini. Dalang Ki Gitosewoko dalang kesayangan Bung Karno Pagelaran dimulai, penonton terbuai oleh kiprah ki Dalang , suasana tenang, tidak terdengar suara apapun antara penonton, perhatian seluruhnya kepada layar/kelir di depan sambil mengagumi keahlian dalang dalam memainkan wayang, suluk, janturan dan ontowacono dari para tokoh2 wayang. Sedikit mengenai dalang Gitosewoko. Dia memang dipilih oleh BK sebagai dalang yang “pas” sesuai dengan selera beliau, bahkan sampai di beri tempat tinggal/kamar dalam kompleks perumahan Istana Negara. Khususnya bila dia menampilkan tokoh Gathutkaca, sungguh sangat memukau, pada waktu janturan bersiap untuk terbang sampai pada klimak-nya, “jejak bantala, melesat angkoso, kebat kadiyo kilat, kesit kadiyo tathit…” diiringi dengan gending pangkur palaran dan sinden Nyi Tjondrolukito, sungguh menggetarkan perasaaan para penonton termasuk Bung Karno yang nampak sangat menikmati episode tsb. Selanjutnya saat perang kembang antara Denawa/Gathutkaca juga dengan iringan gending pangkur palaran dengan iringan suara khas Nyi Tjondrolukito “ Ampyaken kaya wong njala, krubuten kaya menjangan mati…”. Inilah nampaknya dua episode yang sangat digemari oleh BK. Teman saya yang pinter ndalang, Mas Mulwanto dari Solo (masih ada),bekas Atase Kebudayaan di Pilipina, cerita bahkan pada waktu jadi “tahanan rumah” di Istana Bogor, ia sering diminta datang BK bersama dengan almarhum Ir. Sri Mulyono Herdalang, khusus untuk mainkan episode Gathutkaca vs Denawa diiringi oleh gending/lagu pangkur palaran. Nampaknya ini sudah menjadi “obsesi” BK… Dalam kondisi terisolasi, hiburan beliau adalah wayang dengan tokoh Gathutkaca. Saya masih menyimpan piringan hitam dari Lokananta yang berisi rekaman Gathutkaca Gandrung oleh Roesman dan Darsi, yang terkenal sebagai Gathutkaca dan Pergiwa Sri Wedari. Mereka sering diundang Bung Karno ke Istana khusus untuk menarikan tari Gathutkaca Gandrung dengan suaranya yang menggelegar . Lagi-lagi dengan pangkur palaran. Nampaknya memang tembang/lagu inilah idola Bung Karno, sampai-sampai dalam salah satu gubahan puisinya, beliau mengatakan bahwa “bila saya mendengar tembang Pangkur Palaran seakan saya juga melihat Indonesia tercinta”. Sekitar jam sepuluh malam terdengar suara cangkir beradu, ini tandanya hidangan kopi mulai dikeluarkan, kopi pilihan Bung Karno, aromanya saja sudah cukup menggugah, rasanya sungguh nikmat ditengah suasana santai nonton wayang. Bung Karno betul-betul membaur dengan rakyatnya hampir tanpa jarak. Ketika saatnya datang adegan goro-goro suasana makin santai dan bagi yang sudah biasa nonton di Istana inilah saat yang di tunggu-tunggu. Hidangan makan malam berupa rawon kesukaan Bung Karno mulai diedarkan lengkap dengan sambelnya yang terkenal pedas merangsang. Hidangan ini langsung membangunkan mereka yang ngantuk ditambah dengan segelas teh manis panas sebagai penutup cukup untuk bekal melanjutkan nonton wayang sampai tancep kayon. Dan penonton memang baru bubar, termasuk Bung Karno, setelah tancep kayon. Dalam perjalanan pulang, pikiran saya melayang dan teringat kembali kenangan sewaktu kecil di desa. Sebagai penggemar wayang “fanatik”, kemanapun ada wayang saya hampir tidak pernah melewatkan. Apabila penonton penuh sesak, kami anak-anak manjat pohon dan nangkring di atas sambil “nggayemi krimpying” desa Carikan, layaknya menonton dari balkon. Malam hari sehabis Maghrib kami berangkat , langsung cari tempat di sebelah ‘kothak’, walau di usir2 oleh Pak Niaga tetap bertahan dan tidak bergeming. Kesenangan yang luar biasa bila Pak Dhalang minta bantuan mengambilkan tokoh wayang dari ‘simpingan’, biasanya dengan menggunakan “gada panjang”. Sing niki napa? “ya”, kata Pak Dhalang. Sungguh merupakan kepuasan. Pagi hari setelah bubaran, cari ‘badharan gebleg’ untuk mengisi perut yang lapar. Sambil pulang sepanjang jalan “nggayemi” gebleg dingin alot, namun cukup terasa gurih juga. Sekitar duapuluh tahunan kemudian setelah peristiwa wayangan desa itu, saya pulang nonton wayang bukan dari Ngringgit, Briyan atau Singkil, tapi dari Istana Negara bahkan nonton bersama dengan Bung Karno, tokoh yang paling saya kagumi, bukan dengan jalan kaki tapi naik mobil walaupun mobil dinas. Sungguh di luar impian dan khayalan bahwa hal itu bisa terjadi. Perjalanan hidup seseorang memang penuh misteri, namun bagi saya itulah hikmah dan nikmat kemerdekaan yang diproklamasikan Bung Karno dan tentunya tidak terlepas dari kehendak dan kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa juga. Slamet Wijadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar