Senin, 12 Maret 2012

Masa setelah notasi digunakan  Sistem notasi muncul pada waktu Javaa Instituut yang beranggotakan intelektual Belanda maupun Jawa mengadakan perlombaan menulis naskah tentang musik Jawa. Menurut laporan Brandts Byus (1924) pengumuman lomba ini diterbitkan di Djawa (1921: 303-4).  Bulan September 1923, juri menerima tujuh naskah dalam bahasa Jawa. Beberapa dari naskah ini menggunakan notasi Barat untuk menulis beberapa gendhing. Juri lomba terdiri dari orang Belanda dan Jawa yaitu: J.S. Brandts Buys, R.Ad. Ar. Danoesoegonda, J. Kats, J. Kunst, dan R.M. Ng. Soedjonopoera.  Hadiah pertama, 300 gulden, diterima oleh M.Ng. Lebdapradongga (mantri niyagapimpinan musisi Kepatihan Surakarta); penulisan naskahnya dikerjakan bersama dengan M.P. Djatiswara (Letnan dua, pimpinan musik gesek ropa kraton Surakarta).  Hadiah kedua sebanyak 175 gulden diberikan kepada dua penulis: R.T. Djajadipoera; tulisannya merupakan hasil kerjasamanya dengan Mevrouw Hofland (juga bernama samaran Linda Bandara), dan R. Ng. Soetosoekarja, mantri tjarik kaboepaten (kepala skretaris kabupaten), menulis naskah dengan bantuan M. Ng. Mlajadimedja, mantri niyaga kraton Surakarta. Selain itu, empat penulis menerima sebutan penghormatan: R. Soelardi Hardjasoedjana dari Surakarta, R. Loerah Djajenggoetara dari Yogyakarta, R.M.Ad. Ar. Tjakrahadikoesoema, dan R. Tirtanata, dua-duanya dari Temanggung (bandingkan dengan situasi pemberian gelar kraton dewasa ini yang lebih berbau politik praktis dan ekonomis!).  Buku awal yang memuat informasi tentang notasi adalah Buku Piwulang Nabuh Gamelan yang ditulis oleh Komisi Pasinaon Nabuh Gamelan ing Paheman Radyapustaka Surakarta. Diduga Djatiswara sebgai salah satu anggota komisi dianggap paling bertanggung jawab dalam penulisan buku itu. (Sumarsam, 2003:148-217).  Titilaras adalah istilah yang digunakan di lingkungan karawitan untuk menyebut notasi yaitu lambang yang memawakili tinggi dan harga laras (nada). Sampai saat ini, titilaras yang masih paling banyak digunakan di lingkungan karawitan (di Surakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta sampai daerah sebaran budayanya) adalah titilaras Kepatihan yang di “ciptakan “ pada tahun ’20-an di Kepatihan Surakarta oleh Warsadiningrat. Notasi ini (juga notasi Sari Swara) mengadopsi notasi angka Cheve, yaitu menggunakan angka dari 1 sampai dengan 7. Tinggi (besaran) angka merepresentasikan tinggi nada, harga nada dipresentasikan oleh garis harga nada yang berwujud garis datar di atas angka. Setiap garis membagi dua dari harga sebuah nada. Makin banyak garisnya berarti makin pendek/sedikit harga nadanya. Wilayah gembyang ditandai dengan penempatan titik di atas atau di bawah nada. Titik di bawah menunjukkan bahwa laras tersebut berada pada wilayah gembyang bawah.  Nut (Bld noot) tertua yang dikenal pengrawit Jawa adalah nut Rante. Marc Perlman memberi ciri notasi rante sebagai berikut. 1. Adanya garis paranada dengan enam garis horizontal; 2. Penggunaan garis-garis bawah untuk menandai nada-nada rendah, dan garis-garis di atas untuk nada-nada tinggi; dan 3. Adanya garis-garis yang menyambungkan biji-biji not (garis lengkung, lurus maupun terputus-putus), sehingga tulisan notasi seakan-akan menggambarkan sebuah rantai (maka dinamakan “notasi rantai”)… (Perlman, 1991: 37). Titilaras ini mirip dengan notasi Balok, yaitu garis-garis sejajar horizontal dengan perbedaan tidak menggunakan bagian sela (hanya menggunakan garis-garis saja) sebagai tempat nada. Notasi Rante dipercaya dicipta oleh Demang Karini sekitar tahun 1870 (?) (Supanggah, 2002:114) sic!. Sumarsam menyebut Demang Karini adalah anggota staff musik Barat Mangkunegaran pada masa pemerintahan MN IV (1853-1881) (Sumarsam, 2003: 156). Asumsinya Demang Karini fasih musik Barat maka pengaruhnya kepada teknik atau model penulisan notasi rante juga besar. Oleh Karini notasi ini dikenalkan kepad saudara sepupunya yang bekerja di kraton Surakarta yaitu Mas Newu Sudiradraka seorang musisi kraton berpangkat panewu dari golongan punakawan. Kemudian dinaikkan pangkatnya ke panewu golongan kasepuhan dengan nama Kyai Demang Gunasentika. Sebagai tanda terimakasih atas kenaikan pangkatnya, ia mengumumkan notasi ini kepada pemerintah Belanda dan mempersembahkannya kepada patih Sasradiningrat IV (1889-1916). (Sumarsam, 2003: 156). Menurut Warsadiningrat, Gunasentika memakai notasi rante untuk mengajar siswanya dan anak-anak raja. Nut lain adalah Andha (tangga) yang berupa garis-garis sejajar tegak (vertikal) yang merepresentasikan bilah-bilah saron atau balungan. Notasi Andha dikembangkan di Yogyakarta. Menurut Djoko Walujo (guru gamelan ISI Yogyakarta) notasi andha dipakai untuk mengajar gamelan. Caranya, notasi tersebut ditulis di papan yang lebar berbentuk seperti pintu. Djoko Walujo melihat notasi ini di rumah Purwadiningrat (putra Wiraguna, salah satu pencipta notasi andha). Dugaan Sumarsam kedua notasi awal ini dipakai untuk mengajar gamelan hanya terbatas di kalangan Jawa golongan ningrat, terutama anak-anak para pangeran. (Sumarsam, 2003: 157). Contoh notasi (nut) rante lihat Sumarsam, 2003: 158. Contoh nut andha, lihat Sumarsam, 2003: 159. Inti dari permasalahan diupayakannya atau ditemukannya notasi-notasi di Jawa (dan juga di daerah lain di Nusantara) adalah adanya perhatian dari sementara tokoh seni budaya Belanda (sbg penjajah yang berkepentingan melestarikan daerah kekuasan jajahannya) terhadap:  upaya pelestarian (preservasi),  pengembangan (reaktualisasi, revivalisasi), dan,  penghargaan (reward semacam lomba-lomba penulisan notasi) terhadap tingginya nilai estetis (garap, gendhing, vokal, sastra);  organologi (teknik pembuatan gamelan besi-kuningan-perunggu-pamor); dan,  filosofis (piwulang, murya raras, sangkan paraning dumadi, pendidikan, dsb).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar