Senin, 12 Maret 2012

SASTRA PEDALANGAN 3.1 Sastra Pedalangan Kandungan nilai sastra yang ada pada seni pertunjukkan wayang adalah sangat luas. Pada hakikatnya seni pertunjukkan wayang ini sebagai pelaku utamanya adalah dalang, maka sastra dalam seni pertunjukkan ini sering disebut Sastra Pedalangan. Sejak dalang manggung di bawah lampu penerang (blencong) untuk memulai karya mendalangnya, maka nilai sastrawi itu langsung nampak jelas mulai tergambarkan, tergelar dan terucapkan. Bahkan apabila nilai sastrawi tersebut dimaknai sebagai pernyataan filosofis, maka sebelum ki dalang memulainya, nilai-nilai sastrawinya telah kelihatan. Sejak wayang itu digelar, dinyatakan dalam bentuk tata panggung, semua yang berada serta terkait pada panggung itu akan nampak jelas nilai-nilai sastrawinya dan sudah mulai bisa dibaca oleh penonton terutama bagi yang memperhatikan dan para pengamat, juga para penggemarnya. Bentuk-bentuk wayang, bentangan kelir, nyala blencong yang sangat terang dan penataan gamelan yang rapi dan berwibawa serta indah itupun sudah menyatakan suatu gambaran yang sangat filosofis. Demikian juga seperti bentuk penataan wayang yang berada pada deretan sebelah kiri maupun kanan yang saling membelakangi (ungkur-ungkuran), gunungan (kayon) yang ditancapkan di tengah- tengah batang pisang (gedebog) dan sebelum dalang menempatkan diri, itupun jelas mengandung nilai-nilai sastrawi yang berbobot. (Purwadi dalam makalah Konggres Pewayangan 2005 di Yogya, hal Pendahuluan). Kini seni pewayangan yang sangat berbobot itu merupakan pengembangan dari hasil budaya cipta-ripta yang munculnya dari kreativitas masyarakat Jawa sejak masa-masa sebelum Masehi. Maka tidak mustahil apabila seni pertunjukkan wayang itu sangat erat sekali keterkaitannya dengan hidup dan kehidupan masyarakat Jawa. Justru seni pertunjukkan wayang ini di kemudian hari digunakan sebagai sarana pendidikan lahir batin bagi kehidupan masyarakat secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Memang tujuan hidup masyarakat Jawa, mengutamakan pencapaian hidup sorgawi. Ini berarti mereka yang berada pada posisi generasi pendidik akan sangat mengutamakan ajaran-ajaran kerohanian. Theology mereka sebagian besar menggunakan seni pewayangan sebagai media pendidikan di dalam proses pembelajaran, yang dipastikan akan lebih mudah untuk diterima bagi anak cucu. 93 Selanjutnya ajaran-ajaran tersebut tertuang melalui aspek seni, yang terkandung dalam pewayangan. Aspek-aspek seni itu adalah seni rupa, seni suara, seni drama, seni gerak, seni sastra. Seni rupa berupa bentuk dan warna wayang, ukiran, seni suara berupa tembang, suluk dan gending, seni drama berupa likuliku cerita/lakon, seni gerak berupa tari dan laku wayang, seni sastra berupa dialog, narasi, lakon gending, suluk dan lain-lain. Namun demikian pembicaraan pada bab ini hanya akan dikhususkan mengambil dari aspek sastra saja. Sebab dengan sastra ini aspek yang lainnya akan ikut terbawa aktif sebagai jalan tercapainya system pendidikan yang menjadi harapan masyarakat. Aspek seni sastra yang realisasinya termasuk satu cabang seni pertunjukkan wayang di mana sebagai pelaku utamanya adalah dalang. Maka aspek ini dinyatakan sebagai Sastra Pedalangan (istilah satu mata ajaran pada jurusan Pedalangan Jawatimuran di SMK Negeri 9 Surabaya). Kata sastra yang dalam bahasa Jawa kuna tertulis Çastra berarti buku pelajaran, ilmu, pengetahuan, naskah, buku suci (Suwoyo Woyowasito, Kamus Kawi Jawa Kuno-Indonesia). Dengan demikian sastra artinya adalah tulisan (Bau Sastra Purwadarminta) juga berarti piwulang/wewarah (pelajaran). Namun sastra menurut pangawikan Jawa ialah pengetahuan, bukan saja yang diperoleh dari apa yang tersurat, melainkan juga yang tersirat. (R.M. Yunani Prawiranegara, Pemahaman Nilai Filosofi, Etika Dan Estetika Dalam Wayang, makalah Konggres Pewayangan 2005 di Yogya, halaman XII – 16). Jadi segala buku atau segala yang tersurat dan tersirat dalam cerita baik lama maupun baru, yang dengan melalui tembang oleh dalang (suluk), dialog wayang yang diakukan oleh dalang (antawacana) bisa dibicarakan bersamasama dalam aspek seni sastra atau Sastra Pedalangan. Dengan demikian BAB III dalam buku ini berisi pembicaraan tentang sastra yang berupa suluk beserta isi dan analisa, sastra yang berupa cerita dan analisa, sastra gending, sastra yang berupa antawacana dengan pemilihan kata-kata, buku-buku sumber cerita. Dan yang sama pentingnya adalah pandangan filosofis dan gambaran simbolis bagi ajaran pangawikan Jawa. 3.2 Suluk Wayang Sebelum uraian sastra suluk ini berlanjut, terlebih dahulu akan dijelaskan tentang apa itu suluk. Seperti telah diketahui bersama bahwa suluk ini adalah tembang yang dilagukan oleh seorang dalang ketika menceritakan sebuah lakon wayang. Apalagi cara melagukan terungkap melalui alunan suara dalang yang indah. Tentu hal ini menambah kewibawaan dan kualitas sang dalang itu sendiri. Jadi suluk itu indah. Lebih-lebih lagu suluk itu bersamaan dengan 94 ucapan-ucapan kalimat yang bergaya bahasa Jawa luhur atau tinggi (lungit) dan bermakna. Kalimat-kalimat yang lungit, indah dan bermakna di dalam suluk, itu disebut sastra suluk. Sastra yang berada di dalam suluk dalang sebagian besar berasal dari Kakawin Bharatayuda karya Empu Sedah dan Empu Panuluh jaman pemerintahan raja Jayabaya di kerajaan Panjalu (Kediri) tahun 1157 (Soeroso, Gamelan A, 1983 hal 17). Dan di antaranya ada yang berasal dari epos Ramayana karya Walmiki. Kakawin berupa susunan kalimat berbahasa Kawi (Jawa Kuna), setiap seloka (saloka atau sloka) terjadi dari empat baris. Dalam kesusastraan Jawa menjadi bentuk tembang Gedhe/Ageng atau sering juga disebut Sekar Ageng. Menurut para ahli tembang tradisional dan secara structural, Sekar Ageng merupakan urut-urutan yang berada pada tempat paling atas dari 3 bentuk tembang Jawa. Sedangkan urutan kedua adalah Tembang Tengahan atau Sekar Tengahan yang terbentuk dengan menggunakan Bahasa Jawa Pertengahan. Tempat ketiga yaitu Tembang Cilik atau biasa disebut Tembang Macapat yaitu tembang yang dalam aktifitasnya terbentuk dengan menggunakan bahasanya rakyat kecil (kawula cilik). Tembang Macapat ini hidup dan berkembang di kalangan rakyat jelata yang pada umumnya berada di pedesaan. Dalam perkembangan selanjutnya, susunan kalimat 4 baris dalam Tembang Gedhe tadi tersusun dengan urutan sebagai berikut setiap baris dinyatakan sebagai satu pada-pala (satu baris), dua pada- pala (dua baris) dinyatakan sebagai satu pada-dirga, dua padadirga (empat baris kalimat) dinyatakan satu padeswara. Kata padeswara berasal dari kata pada dan iswara. Pada berarti larikan (baris) dan iswara berarti raja dan identik dengan besar, jadi padeswara adalah pada besar. Kakawin ini juga berpatokan pada lampah (jumlah suku kata setiap baris) dan juga Guru- lagu (dhong-dhing). Dhong menyatakan suara berat (anteb) sebagai suatu pernyataan rasa puas yaitu perasaan akhir, tanda akan dimulainya babak baru. Dhing menyatakan suara ringan (ampang atau entheng) sebagai suatu pernyataan rasa yang belum selesai (rampung). Dalam hal ini perasaan belum (tidak) lega, masih menanyakan kelanjutannya. Guru maupun Lagu bukan hanya pada akhir kalimat, tetapi juga berada di tengah-tengah kalimat dan pada awal kalimat. Guru dan Lagu dalam aturan bahasa Kawi merupakan sarana terbentuknya kakawin. Sampai saat ini tidak ada seorang pun seniman dan Budayawan Jawa yang berminat dan mampu untuk mencipta atau mengarang kakawin lagi. Generasi sekarang ini hanya menerima peninggalan saja. 95 Itulah sebabnya sastra kakawin yang tertulis dalam ÇlokaÇloka Mahabharata, Ramayana, Bharatayuda atau yang lainnya diambil sebagai sumber penulisan sastra suluk dalam karya tulis ini. Inilah sastra suluk yang berupa Kakawin Bharatayuda: Lêng- lêng řamnya nikang çaçangka kumênar mangrêngga rūm ning puri Mangkin tan pasiring halêp nikang umah mās luwir murub ing langit Têkwan sarwwa manik tawingnya sinawung sāksāt sêkar ning suji Unggwan Bhānuwatï yanāmrêm alangö mwang nātha Duryyodhana. Kalimat-kalimat kakawin di atas, disebut tembang Sardulawikridita, artinya permainan harimau (L. Mardisuwito, Kamus Jawa Kuna-Indonesia, tt. 563). Terjemahan Tembang Sardulawikridita itu adalah: Indah menarik hati, bulan yang bersinar menghiasi puri kedaton, menjadikan semakin tidak ada yang menyamai keindahan rumah emas, bagaikan menyala-nyala di atas langit, lebih-lebih tebing yang dilapisi dengan mas manikam yang berwarna-warni bagaikan rangkaian bunga indah, di tempat itulah bila sang Dewi Banuwati sedang memadu kasih bersama suami Sang Prabu Duryuddana. Kakawin ini setelah dipakai oleh para dalang wayang sebagai sulukan, ternyata mengalami penggeseran ucap dan pemenggalan kata. Hal ini mungkin sekali akan bisa mengakibatkan perubahan arti atau bahkan pengertiannya. Demikian inilah kalimat itu sekarang: Lengleng ramnyaningkang, sasangka kumenyar O.. Mangrengga ruming puri, O.. mangkin tanpa Siring, halep ningkang ngumah, mas lir murub ing langit, O.. tekyan sarwa manik O.. . Sampai di sini kalimat itu diputus, kemudian diteruskan dengan permainan gender (ompak-gender) sesaat, baru kemudian diteruskan: tawingnya sinawung, O.. , O.. saksat sekar si Nuji, unggwan Banowati, O.. yen amrema la- Ngen, lan Nata Duryudana O.. Lan Nata Dur- Yudana, O.. . Terlihat sekilas kalimat itu seolah-olah tidak mengalami perubahan makna. Andaikan berubah, hanya ucapannya saja. Hal ini 96 terjadi karena yang semula dari bahasa Jawa Kawi, kemudian dibawa kepada ucapan bahasa Jawa Baru, di saat seni pertunjukkan wayang kulit purwa menjadi garap kemasan baru, khususnya yang gagrag Surakarta. Dalam peristiwa demikian itu sering muncul suatu kekhawatiran bagi sebagian seniman atau Budayawan. Namun perlu mengingat terhadap hukum alam, bahwa kehidupan seni dan Budaya dari jaman ke jaman, generasi ke generasi pasti mengalami perubahan. Jika berpaling pada kondisi alami tersebut, maka perubahan seperti yang ada pada Kakawin Sardulawikridita adalah sangat wajar. Justru perubahan yang demikian itulah yang membuahkan hasil pengayaan bagi seni dan Budaya dalam perkembangannya. Yang penting sampai sekarang ini, generasi mudanya masih memiliki catatan sejarah dari para pendahulunya. Biarkan sastra yang diambil dalam seni pertunjukkan wayang purwa ini berkembang menurut jamannya (anut jaman kelakon). Dalam perubahan dan perkembangannya, tembang Sardulawikridita setelah bersama-sama dengan seni pertunjukkan wayang kulit purwa, berfungsi sebagai sulukan pengiring jejer I dalam laras Slendro dalam waktu masih pathet Nem. Sehingga kakawin itu berubah sebutan menjadi pathetan Nem Ageng, yang dalam gema lagunya diiringi oleh instrument rebab, gender barung, gambang, suling, kempul-gong dengan permainan menurut aturan tata nada dalam pathet Nem. Selanjutnya sebagai catatan kata-kata yang dipakai dalam Kakawin Sardulawikridita tadi perlu diterjemahkan. Di bawah ini terjemahan dari S. Padmosoekotjo dalam bukunya Suluk Pedalangan, hal 14-15: Lêng- lêng tegesipun anglam-lami, Řamnya tegesipun endah, nengsemake, Çaçangka tegesipun rembulan, Kumênar tegesipun sumorot, sumunar, Mangrêngga rūm ning puri tegesipun ngrengga endahaning puri (keputren), Mangkin tan pasiring, Halêp nikang umah mās tegesipun endahe suyasa kencana, Luwir murub ing langi tegesipu pepindhane kaya murub ing langit, Têkwan tegesipun sarta, lan maneh, apa maneh, Sarwa manik tegesipun sesotya manek warni, Tawing artinya tebing, srawing tegesipun aling-aling, Sinawung tegesipun dipun-salut, linapis, Suji tegesipun eri, sunduk, 97 Sāksāt sêkar ning suji tegesipun pepindhane kados reroncening sekar, kados sekar renonce, Unggwan Bhānuwatï tegesipun papan padununganipun banuwati, Yan āmrêm alangö mwang Duryyodana tegesipun manawi sari alelangen (sih-sinihan) kaliyan Prabu Duryyodana, Langö endah tegesipun kaendahan, klangenan, Alango tegesipun lelangen (sih-sinihan.) Terjemahan: menyebabkan orang terpesona, indah, menawan hati, bulan, bersinar, menghias indahnya keputrian atau tempat putri, saya tanpa tandhing (semakin tidak ada yang sama), keindahan kerajaan emas, bagaikan menyala di langit, serta, lagi-lagi, apa lagi, segala macam manikam, tirai, tabir, diberi lapisan, (duri, tusuk). Juga biasa berarti renda, sulam, bagaikan untaian bunga, tempat tinggal Banuwati, bila (akan) tidur berkasih-kasihan bersama suami yaitu Prabu Duryyodana, indah, keindahan, kesukaan, bersuka cita, berkasih-kasihan. Sebagai urutan suluk yang kedua dalam pertunjukkan wayang adalah disebut Ada-ada Girisa dalam laras Slendro yang masih berada dalam kawasan waktu pathet Nem. Demikianlah kalimat Adaada Girisa: Lengleng gatiningkang awan saba-saba Niking Ngastina, samankara tekeng, Tegak Kurunararya, Kanwa Janaka dulur Nara- Da, kapanggih ing ika, O.. tegal miluring karya, sang Bupati ta la ya. Itulah ada-ada Girisa, di mana kalimat-kalimatnya mengambil dari petikan Bharatayuda. Sedangkan yang asli dalam bahasa Jawa Kuna adalah sebagai berikut: Lêngêng gati nikang hawan sabha-shaba niking Hāstina, 98 samantara têkeng têgal Kuru narāryya Kŗşņān laku, sirang Paraçurama, Kaņwa Janakādulur Narada, kapanggih irikang têgal milu ri karyya sang Bhūpati. Artinya: Sungguh indah menakjubkan kondisi jalan yang menuju (ke) bangsal (tempat dialog) Hastina, setelah keberangkatan Prabu Kresna, di alun-alun Kuru, ia bertemu dengan Parasurama, Kanwa dan Janaka yang sudah berbadan dewa bersama-sama dengan, Barata Narada, untuk ikut membantu arya Sang Prabu Kresna. Keterangan kata-katanya: Lêngêng tegesipun endah, edi, nengsemake, Gati tegesipun kawontenan, Hawan tegesipun dalan/margi, Lêngêng gati nikang kawan tegesipun asri nengsemaken kawontening marginipun / asri, edi nengsemake kahane dalane, Sabha tegesipun bangsal papan sarasehan, papan rembagan, pandhapa kraton, Samantara tegesipun boten antawis dangu/ora antara suwe, Tegal Kuru tegesipun ara-ara Kuru, Narāryya tegesipun Nara / tiyang (orang) + arrya tegesipun minulya, Narāryya Kresna laku tegesipun tindakipun prabu Kresna / prabu Kresna olehe tindak, Kresna laku tegesipun Kresna / olehe / anggone - laku: tindakipun Kresna, Sirang Paraçurama, Kaņwa…: Panjenenganipun Paracurama, Kanwa.., Janakādulur Narada tegesipun Janaka lan adulur /sesarengan lan Narada / Janaka sesarengan kaliyan Narada, Karyya tegesipun ayahan, padamelan, Bhupati tegesipun Bhu /bumi lan pati / pengageng. Terjemahan: mempesona, menarik hati, keadaan), (jalan, indah mempesona keadaan jalannya, pendopo sebagai tempat sarasehan, tidak berapa lama antaranya / sementara itu, segera sesudah itu, 99 alun-alun, tanah lapang Kuru, dimuliakan, dalam tembang ini narāryya sama dengan prabu / raja, kepergian sang Prabu Kresna, kepergian Kresna, beliaunya adalah sang Paracurama, Kanwa.., Janaka bersama Narada, tugas, pekerjaan, raja, ratu. Kalimat-kalimat berbahasa Kawi Kuna yang berada di dalam Kakawin Sardulawikridita itu menyatakan keindahan dan ketenangan (ayom lan ayem) negara Hastina dalam pemerintahan Prabu Duryudana (raja wangsa Kuru). Selanjutnya keterangan itu menjadi agak tegang setelah kehadiran Kresna bersama Resi Ramaparacu, Resi Kanwa yang sudah berbadan dewa di negeri Hastina, yang mengucik untuk kembalinya Hastina kepada para Pandawa. Dan terjadilah perang besar Bharatayuda Jayabinangun. Sampai hari ke-13, dalam pertikaian dari kedua belah pihak, para pahlawannya saling berguguran. Kemudian pada hari ke-14, Sri Kresna sebagai dalang (botoh) nya para Pandawa, memanggil Gathotkaca untuk menjadi Senapati Pandawa. Demikianlah çlokanya: Irika ta sang Gathutkaca kinon mapagākkasuta, Têkap ira Kŗşņa Partha manêhêr muji çakti nira, Sang inujaran wawang masêmu garjjita harsa marêk, Mawacara bhagya yan hana pakon ri patik nŗpati. Sesuai dengan isi çloka itu yang menyatakan bahwa Gathotkaca sebagai senapati (panglima) perang, maka kalimat-kalimat çloka itu oleh para dalang wayang kulit purwa diambil untuk mengiringi saat Gathotkaca akan terbang. Irikata sang Gathutkaca kinon, mapak Arkhasuta (ada yang mengucapkan Argasuta), O.. tekapira Kresna, Parta maneher muji saktinira, sang inujaran wangwang masemu nggarjita, O.. Ada perubahan sedikit, khususnya pada kata arkha suta ada yang mengucapkan arga suta. Dan kalimatnya dipenggal hanya sampai pada kata garjita. Dalam pengetrapannya çloka ini disebut sulukan Ada-ada Greget saut Slendro Sanga. Terjemahan çloka itu adalah sebagai berikut: pada waktu itu Sang Gathotkaca disuruh bertemu berhadapan melawan anaknya Batara Surya yaitu Adipati Karna oleh Batara Kresna. Parta atau Ar100 juna menjunjung tinggi kesaktian Gathotkaca. Sesaat itu yang disuruh yaitu Gathotkaca nampak suka cita. Maka dengan kegembiraan hati ia menghadap ke Prabu Kresna dan kemudian berkatalah kepadanya “Aku merasa senang karena ada perintah kepadaku.” Bahasa Kawi Kuna dalam perkembangannya, oleh para generasi pembaharu seni pewayangan di Kraton Surakarta Adiningrat yang baru saja pindah dari Mataram Kartasura nampaknya dianggap lebih luhur dibanding dengan bahasa Jawa Baru. Hal ini terbukti dengan pemilihannya terhadap Kakawin yang dipakai dan diterapkan pada suluk dalang meskipun harus mengalami perubahan. Menurut Porbocaroko dalam Kesusasteraan Jawa-nya, perubahan bahasa Kawi Kuna ini terjadi sejak sebelum Majapahit runtuh. Hal ini lebih disebabkan oleh generasi penerus yang tidak mampu lagi mengetrapkan bahasa tersebut dalam pergaulan. Maka mereka tinggalkan bahasa itu. Anggapan mereka sampai saat ini bahwa bahasa Kawi Kuna adalah Bahasa Leluhur. Sebutan bahasa leluhur-pun mengalami penggeseran menjadi Bahasa Luhur. Itulah sebabnya mengapa Kakawin atau tembang Kawi terpilih oleh pembaharu seni pewayangan di kraton Surakarta. Justru sampai saat ini, bukan hanya tembang Kawi-nya saja yang terpilih, melainkan seluruh Bahasa Luhur Kawi menjadi bahasa pilihan bagi seni pertunjukkan wayang secara umum. Bahasa Kawi Luhur masuk dalam kategori bahasa Pedalangan, khususnya seni pewayangan versi Jogyakarta dan Surakarta, baik yang klasik maupun garapan barunya. Berbeda dengan sastra suluk dalam seni pewayangan versi Jawatimuran. Dalam proses perkembangannya, secara turun-temurun hanya dengan system mendengarkan, melihat dan menirukan dalang yang sedang menyajikan karya. Itulah system nyantrik. Hasil cantrikan dalam prosesnya antara cantrik yang satu dengan yang lain sering berbeda dalam ucap bahasa, misalnya ucapan kata Apituwi, ada yang mengucapkan Kapituwi. Gelanggang perang, ada yang mengucapkan Pemedan, ada yang mengucapkan Permedan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, sebab setelah munculnya buku-buku terbitan baru oleh penulis wayang Jawatimuran, maka para dalang tentu bisa menyatu dalam satu buku itu sebagai pacu kawruh (pengetahuan). Seperti pertunjukkan wayang pada umumnya, wayang Jawatimuran-pun dalam sajiannya juga menggunakan suluk yang terhias sastra dengan sangat indahnya. Suluk yang pertama kali berupa lagu yang disebut Pelungan atau Drojogan, yang urutan barisnya adalah sebagai berikut: Ingsun miwiti andalang, Wayangingsun bambang paesan, Kelire jagad dumadi, Yana larapaningsun naga papasihan, Pracike tapele jagad gumelar, 101 Drojogku sanggabuwana, Gligen rajeging wesi, Yana blencong kencana murti, Kothake wayang kaya cendhana sari, Tutupe ndhuwur jati kusuma, Kepyke gelap ngampar, Ingsun dalang purbawasesa, Gamelan larase Slendro pengasihan, Gambang garuting ati, Gender panuntuning laras, Rebab cindhe lara tangis, Kendhang panggetaking ati, Kempul panduduting ati, Pradangga putraning jiwa raga, Waranggana saking Suralaya, Kinayut-kayut swaranya lir dewa, (Djumiran RA, Lagon vocal Dalang Jawatimuran) Terjemahan: Aku akan mulai mendalang, Wayangku adalah bambangan (pemuda), Layarnya bagaikan jagad ciptaan Tuhan, Gedebogku berkekuatan dua naga yang sedang memadu kasih, Kekuatan pracik (ikat atas dan bawah) layar bagaikan sabuk jagad raya, Drojogku (penyangga) bagaikan penyangga jagad, Kekuatan tiang penegak di sebelah kanan-kiri kelir sebagai pagar (rajeg) yang berkekuatan besi, Adapun lampu penerangnya (blencong) bagaikan mas yang dimiliki dewa, Tempat wayang (kotak) memakai bahan sarinya kayu cendana yang harum itu, Tutup kotak bagian atas menggunakan bahan kayu jati yang harum (kusuma = kembang), Kepyak (sebagai sarana kekuatan sabet) bagaikan bunyi petir (gelap) menyambar (ngampar), Aku inilah seorang dalang yang dikaruniai kekuasaan untuk menguasai, mengatur/menata pada alam raya ini, Sebagai alat pengiringku (gamelanku) yang berlaras Slendro itu memiliki daya tarik kuat yang tak tertandingi, Gambang (gamelan kayu) sebagai penopang rasa keprihatinan, Gender (gamelan renteng) sebagai penuntun (petunjuk) semasa dalang hendak suluk, 102 Rebab (gamelan gesek) terbalut/terhias dengan kain cindhe sebagai penopang suasana kesedihan, Kendhang sebagai penopang suasana emosional (lembut dan keras/tegas), Kempul sebagai penopang tempo di segala suasana, Pemain gamelan (pradangga/wiyaga) yang mengisi/menggerakkan jiwa raga dalam gambaran hidup dan kehidupan, Pengidung wanita (waranggana = pesindhen = bidadari) dari kahyangan = sorga (Suralaya), Mengalun (kinayut-kayut) suaranya bagaikan suara mas (suara dewa = suara baik = suara yang berkualitas). Pelungan ini sebuah nama judul yang diberikan oleh seniman kepada sebuah susunan syair dalam sastra suluk pada seni pertunjukkan wayang Jawatimuran versi Mojokerto-an. Bagi wayang Jawatimuran versi Porongan disebut Drojogan. Di samping syair tersebut di atas, ada lagi susunan kalimat syair yang lain, yaitu: Swuh rep data pitana, Rep swuh rep, rep swuh rep saking karsaningsun, Sekar kawi kang sinawung, Kinarya resmining kidung, Binarung swaraning gending Gandakusuma munya, Kekanthening Budaya, ing nguni Budaya iku tanama, Anane Budaya iku saking Negara, Dhawuhe andika wali, Kang sinawung mring pra pujangga Jawi, Kinarya tepa tuladha, Karo dene para janma sujana, Lan swartane budi kang wus uning, Ginane krawitan angiringi Budaya, Ana gambaran ………., Mirip rupa warna jalma mengku sastra kang sunandhi, Kedhik janma ingkang udani, Manawa tan parameng kawi, Lungguh panggung nyawang gegambaran, Gegambaraning agesang, Manungsa kang ana madyapada, Aja kate darbe tindak ala, Ngudia mring kautaman, Dimen manggih kayuwanan. (Ki Piet Asmara Mojokerto) Syair di atas biasa dilagukan oleh para dalang wayang Jawatimuran gagrag Mojokerto-an yang wilayahnya berada di sekitar Mojokerto dan Jombang. Adapun terjemahannya adalah: 103 Dari suasana sepi, suwung, sunyi (awung-awung), kemudian ada cerita, Sunyi karena kehendakku, Sekar (tembang) kawi yang enyertai, Sebagai kidung resmi (sejati = suci), Bersama suara gending Gondokusuma, Sebagai bagian kebudayaan yang dulu tak ada, Kalau ada berasal dari Negara, Atas perintah para wali, Yang direstui oleh para pujangga Jawa, Sebagai suri teladan (contoh), Bersama para cerdik-pandai, Serta para budiman bijak, (bahwa) fungsi gamelan sebagai pengiring seni Budaya, Yang berujud gambaran, Seperti wujud manusia ini mengandung sastra terselubung, Sedikit orang yang mengerti/mengetahui, Jika bukan ahli kawi (Budayawan), Duduk di panggung mengamati gambaran, Yaitu gambaran hidup dan kehidupan, Manusia yang berada di dunia, Jangan sampai berperilaku jahat, Biarlah belajar tentang kebaikan/kesucian, Agar mendapatkan keselamatan. Menurut para dalang tua (sepuh) Ki Suleman dari Pasuruan, Jawa Timur, dan Ki Toyib Gondocarito dari Krian Sidoarjo serta para nara sumber lainnya yaitu Ki Bambang Sugiyo, Ki Surwedi, menyatakan bahwa sastra tembang Pelungan / Drojogan itu sebenarnya adalah doa yang dinyatakan dalam sastra suluk. Apabila kita Mengamati kalimat Pelungan atau Drojogan tersebut, ternyata berisi permohonan kekuatan alami agar menguatkan pribadi si dalang dalam karyanya semalam suntuk (Ki Suleman). Masih banyak sastra suluk yang ada, namun tidak mungkin akan diangkat seluruhnya dalam karya tulis ini. Namun di bawah ini masih ada beberapa yang perlu diungkap: Sendhon Prabatilarsa Pathet Wolu Nara nata nggonira miyos siniwaka Sineba mring pra Santana Sumewi munggwing ngayun Ngelik: Teja-teja, tejane wong kang Nembe kaeksi Sumunar pindha Sang Hyang Bagaskara 104 Nyunani sagung para kawula Ingkang ayem tentrem sami ngudi ngudi Mring pakaryanira kinarya nyekapi Ing kwajibanira……… (Ki Piet Asmara) Sendhon Purwa Seba Pathet Wolu Rupa candra sasi bumi Nabi Budha roning medi Sasadara wulan candra Bumi watak siji (Ki Piet Asmara) Bendhengan Wayang Srambahan Yana netra caksu naya Dresthinya maluncana Karna-karni suku loro Wategana marang sawiji Suku loro wategana marang sawiji. (Ki Surwedi) Yang disebut bendhengan sebenarnya greget saut yaitu sebuah lagu ada-ada (daerah Solo). Di Jawatimuran Ki Suleman mengatakan bendhengan bersuasana tegang. Bendhengan ini dimuat dalam Lagon Vokal Dalang Jawatimuran tulisan Djoemiran RA. Sendhon Angasih-Asih Slendro Sanga Jawatimuran O..O.. dhahat atawang tangis e Sambat amelas asih Esmu kingkin ing panggalih (Ki Cung Wartanu Mojosari-Mojokerto) Oleh Ki Cung Wartanu, lagu sendhon ini dimunculkan secara improvisasi. Menurutnya sendhonannya bukan itu. Sendhon yang biasanya kurang/ tidak susah. Kecuali sastra suluk yang berupa lagon dalang, masih ada lagi sastra suluk yang berupa suluk ilmu gaib. Pada umumnya, sastra suluk ilmu gaib tidak terungkap melalui lagon dalang, tetapi terungkap melalui tembang Macapat, berisi ajaran tentang ilmu gaib, ilmu kebatinan atau ilmu kasampurnaning pati. (S. Padmosoekotjo, Ngrengengan Kasusastran Jawi, tt. Hal. 80). Beberapa contoh sastra suluk ilmu gaib: Maskumambang: Batur tukon lamun nrima mesthi dadi Ing kamardikannya 105 Nadyan wong mardika yekti Yen loba dadi kawula Artinya: Budak (Batur tukon), maksudnya budaknya duniawi, orang yang mudah terpengaruh oleh duniawi sebab dari watak yang angkara murka Kamardikan (kebebasan), tidak dikuasai duniawi Rakyat kecil (kawula), yaitu Budaknya duniawi Jadi makna tembang itu adalah orang yang senang terhadap duniawi, sering disebut mangeran marang kadonyan. Mempertuhankan barang-barang duniawi. Bagi mereka yang sudah tidak membudak pada duniawi, disebut telah merdeka. 3.2.1 Mijil Sagung pangkat kang sing alami, Aywa sira raos, Yeku apan warana jatine, Marma singkirna aywa sira piker, Terusa lumaris, Nyenyandhang pitulung. Samangsane sira sinung luwih, Sing janma kinaot, Poma aywa kasengsem den angge, Nadyan katon solan-salin warni, Singkirana kaki, Ywa nganti kalimput. Artinya: Pangkat kemuliaan duniawi, kesenangan yang berada di dunia, kenikmatan duniawi, Jangan sekali-kali kamu rasakan kenikmatannya, supaya tidak terpathok pada kenikmatannya duniawi, Sebuah tirai. Maksudnya duniawi bisa menutupi jalan menuju kearah kesempurnaan pati, Jangan sekali-kali kamu rasakan kenikmatannya, supaya tidak terpathok pada kenikmatannya duniawi, Teruskanlah berperilaku yang menuju kepada kesempurnaan pati, Mohon pertolongan kepada Tuhan, dapatnya hati ini terbuka sehingga mendapatkan jalan menuju kesempurnaan pati. 106 Pada saat kamu kaya berlebihan, Manusia mampu berbuat semuanya, Jangan sampai larut kepada keduniawian yang dimiliki oleh pribadimu, Meskipun duniawi itu berganti-ganti warna, rupa dan tidak membosankan…., Jauhilah mumpung masih bisa, Jangan sampai tertutup pemikiran atau penalaranmu oleh duniawi sehingga lupa akan tujuan awal, yaitu kesempurnaan pati. Jadi tembang mijil yang terdiri dari 2 ayat atau 2 podo dan memuat ajaran tasawuf ini merupakan tuntunan bagi manusia yang menghendaki kesempurnaan. Mijil Pituture Sri Rama Marang Wibisana Damaring praja’ja mati-mati Sadege keprabon aywa kandheg madhangi jagad mangka panariking reh sayekti ing pati pinanggih kautameng prabu Artinya: Diyan atau obor yang menjadi obor daripada tubuh adalah hati atau pikir. Hati dan atau pikir adalah pelita hidup. Negara, tetapi dalam suluk ini yang dimaksud negara adalah tubuh, Selama menjadi raja. Bagi ilmu kebatinan maksudnya adalah selama hidup di dunia, Jangan berhenti menerangi dunia, maksudnya jangan berhenti berbuat baik, Agar mendapat kesempurnaan yang semesthinya, Kesempurnaan mencapai kematian, Agar matinya bias atau mampu baik. Tentu saja bila orang di dalam hidup dan kehidupannya senantiasa berbuat baik dan berbakti serta berbuat darma tentu matinya nanti akan mendapatkan kemuliaan sorgawi. Jadi dalam hal ini, sang Ramawijaya di dunia sebagai jelmaan Wisnu memberikan ajaran kepada seorang Wibisana yang telah bertaubat. Wibisana yang kesehariannya bertempat pada keluarga yang jahat, merasa disia-siakan oleh Rahwana kakaknya, maka atas pertolongan Anoman ia mengabdikan diri dan sanggup membantu bersama-sama menghilangkan laknat (iblis), yang berada pada diri kakaknya yaitu Rahwana. Akhirnya Wibisana menjadi murid Ramawijaya. 107 Buku-buku yang memuat suluk, kebanyakan muncul pada jaman Islam. Seperti misalnya suluk Sukarsa, suluk Wujil, suluk Malang Semirang. Di bawah ini petikannya: Suluk Sukarsa / Lagu: Girisa (Pelog) Sastra gumelar ing jagad kang atuduh pangawikan, kang weruh ing tuduh sampurna tan ana ireng ing pethak, yen sira sampun waspada lumampaha alon-lonan, kebirira lan sumungah ujub loba singgahana. Ki Sukarsa wus alayar ing sakathahing segara, Margane tekeng makripat tanpa etung urip pejah, Damare murub tan pejah panganggo mulya tan rusak, Asangu tan kena telas angungsi ing desa jembar. Ki Sukarsa dennya layar perau sabar darana, Salat mangka tiyangira kinamudhen pangawikan, Linyaran amangun hak winelahan niat donga, Den watangi panenedha den pulangi lawan tobat. Den labuhi sukurulah den taleni lan kana’at. Den pulangi lan wicara den damari lan makripat. Ki Sukarsa dennya layar wus tekeng segara rakhmat. Kawasa denira layar wus tekeng segara ora. Demikianlah suluk Sukarsa. Menurut Prof. Dr. RM. Ng. Purbocaroko dalam Kepustakaan Jawa-nya, mengemukakan bahwa kitab suluk Sukarsa ini dalam bentuk tembang (ciri suluk), berupa çloka, yaitu tembang cara kuna. Logat bahasanya adalah bahasa Jawa Tengahan (pertengahan) yang muncul antara Jawa Kuna dan Bahasa Jawa Baru. Çloka ini terdiri dari 4 baris, di mana setiap baris terdiri laku delapan dan delapan, sudah tidak berpatokan dengan Guru dan Lagu. Suluk Sukarsa empat itu merupakan bagian terakhir. Adapun terjemahannya adalah: Sastra tergelar di dunia menunjukkan sebuah pengetahuan tentang tuntunan kesempurnaan, tak ada hitam pada putih, bagi orang yang telah mencapai hikmat berjalanlah pelanpelan, takabur dan sombong perilaku tamak tentu disingkirkan. Si Sukarsa bagaikan telah berlayar di segala lautan, sebagai jalan untuk sampai ke tempat ma’ripat yang tidak memperhitungkan hidup atau mati, 108 lampunya senantiasa menyala busana kemuliaan tak akan rusak, bekal yang dibawa tak akan habis, saat mengungsi di desa luas. Si Sukarsa dalam pelayarannya, dengan naik perahu kesabaran, shalat sebagai orang yang mengemudi tentang pengetahuan, dijalani sebagai pembangun hak, dengan menggunakan kemudi niat dan doa dengan segala permohonan, diakhiri dengan pertobatan. Dilakukan dengan selalu bersyukur diikat dengan menggunakan kana’at, dilakukan dengan bela bicara dengan penerangan ma’ripat, si Sukarsa dalam pelayarannya telah berada pada lautan rakhmat, selamatlah dalam pelayaran itu sehingga sampai pada lautan tiada (meninggal dunia?). 3.2.2 Suluk Wujil Kitab suluk wujil berisikan ajaran Sunan Bonang kepada seorang bajang, bekas budak raja Majapahit bernama si Wujil. Ajarannya tentang mistik. Dalam suluk wujil memuat tembang yang bermacam- macam sejumlah 104 pupuh. Kitab suluk wujil ini di dalamnya berisikan sebuah kalimat berbunyi Penerus Tinggal Tataning Nabi. Artinya, Penerus menyatakan bilangan 9, Tinggal menyatakan bilangan 2, Tata menyatakan bilangan 5 dan Nabi menyatakan bilangan 1. Jadi kalimat itu menyatakan bilangan tersusun menjadi 9251. Kalimat yang setiap katanya menyatakan sebuah bilangan seperti di atas, dalam kesusasteraan Jawa disebut Sengkalan. Setelah terjemahannya berujud angka, maka pembacaannyapun harus dibalik. Jadi bila jajaran angka itu berupa 9251, maka akan terbaca menjadi 1529. Jajaran angka terbalik inilah yang akan dinyatakan sebagai angka tahun, yaitu tahun 1529, pada jaman kerajaan Mataram diperintah oleh Ramanda Sultan Adung, yaitu Sinuhun Seda Krapyak. Dengan demikian jelas bahwa Kitab Suluk Wujil ini sudah ada sejak jaman Mataram. Di bawah inilah petikan tiga bait tembang Suluk Wujil, berupa sekar Dhandhang Gula: dipun weruh ing urip sejati, lir kurungan raraga sadaya, becik den wruhi manuke, rusak yen sira tan wruh, 109 hih ra wujil salakuneki, iku mangsa dadya, yen sira ‘yun weruh, becikana kang sarira, awismaa ing enggon punang asepi, sampun kacakrabawa. Terjemahan: hendaklah tahu akan hidup sejati, bagaikan sangkar badan ini, sebaiknya diketahui oleh sang burung, celaka bila tuan tak tahu, wahai sang wujil akan segala peri kelakuan tuan, tak akan bisa tercapai itu (oleh tuan), jika tuan ingin tahu, sucikanlah, tinggallah di tempat suci, yang tak diketahui orang. aja ‘doh dera ngulati kawi, kawi iku nyata ing sarira, punang rat wus aneng kene, kang minangka pandulu, tresna jati sarira neki, siyang dalu tan awas, pandulunireku, punapa rekeh prayitna, kang nyateng sarira sakabehe iki, saking sipat pakarya. Terjemahan: tidaklah tuan jauh-jauh mencari kawi, kawi itu sungguh berada pada diri prabadi, semesta alampun telah rekandung di dalamnya, yang akan menjadi alat untuk melihat, cinta sejati akan diri tuan, ngat-ingatlah siang dan malam, akan penglihatan tuan itu, apakah (di manakah) tempat itu, yang nampak pada tubuh secara menyeluruh, yang muncul sifat fa’al. mapan rusak kajtinireki, dadine lawan kaarsanira, kang tan rusak den wruh mangke, sampurnaning pandulu, 110 kang tan rusak anane iki, minangka tuduh ing Hyang, sing wruh ing Hyang iku, mangka sembah pujinira, mapan uwis kang wruha ujar puniki, dahat sepi nugraha. terjemahan: memang rusak keasliannya, akibatnya ada pada diri tuan, oleh karena itu yang tidak rusak hendaklah tahu, kesempurnaan pandangan, dan yang tidak rusak ini, akan menjadi petunjuk untuk menuju ke tempat Tuhan, yang tahu akan Tuhan, sembah pujinya akan diterima, memang jarang yang tahu akan sabda ini, dan sangat sepi dari anugerah. 3.2.3 Suluk Malang Semirang Suluk Malang Semirang ditulis oleh Sunan Panggung tatkala masuk ke dalam tungku perapian (tumangan) yang dipakai untuk membakar orang yang dianggap salah oleh pemerintah Demak sebab merusak syarak. Buku ini berisi tentang perilaku kehidupan yang sudah sampai pada kejatiannya. Suluk Malang Semirang terdiri dari tembang Dhandhang Gula. Di bawah ini cuplikannya sebanyak 3 bait: dosa gung alit tan den singgahi, ujar kufur kafir kang den ambah, wus luwung pasikepane, tan adulu-dinulu, tan angrasa tan angrasani, wus tan ana pinaran, pan jatine suwung, ing suwunge iku ana, iang anane iku surasa sejati, wus tan ana rinasan. pan dudu rasa karaseng lathi, dudu rasaning apa ‘pa, lawan dudu rasa kang ginawe, dudu rasaning guyu, dudu rasa kang angrasani, rasa dudu rarasan, kang rasa anengku, 111 sakehing rasa kurasa, rasa jati tan karasa jiwa jisim, rasa mulya wisesa. kang wus tumeka ing rasa jati, sembahyange tan mawas nalika, lir banyu milih jatine, tan ana jatinipun, muni-muna turu atangi, saresiking sarira, pujine lumintu, rahina wengi tan pegat, puji iku rahina wengi sireki, akeh dadi brahala. Terjemahan: dosa besar kecil tak disingkiri, perkataan kufur kafir yang diturut, telah mabuk akan kelengkapannya, tiada pandang memandang, tiada merasa tak pula melepas rasa, tiada lagi yang (harus) dituju, memang sesungguhnya kejatiannya kekosongan, dalam kekosongan ada hadlir, dalam hadlir itu tersimpan makna sejati, tak ada yang harus dirasakan. Bukanlah rasa terasa di bibir, bukannya lagi rasa apa apa, bukan rasa sesuatu yang dibuat, bukan rasa tertawa, bukan rasa melepas rasa, rasa bukan untuk dirasakan, rasa yang meliputiku, semua rasa yang terasa, rasa jati tak terasa roh jisim, (yaitu) rasa mulia kuasa. Yang telah sampai pada rasa jati, sembahyang-nya tiada pandang waktu, pada hakekatnya laksana air mengalir, tiada jatinya, barang dikatakan tidur atau jaga, barang yang di angan, pujinya terus mengalir, 112 tak putus siang dan malam, pujiannya siang malam, banyak menjadi berhala. Demikian sastra suluk di bagian kedua yang tergolong suluk ilmu gaib. Tentu bukan hanya seperti yang tertulis di atas. Itu hanya sebagai contoh diambil sebagai gambaran saja. Masih banyak suluk ilmu gaib yang semua itu merupakan ajaran-ajaran rohani bagi umat manusia, khususnya masyarakat Jawa. Seperti beberapa contoh di atas, bahwa suluk ilmu gaib biasa disebar dan diajarkan melalui tembang-tembang Jawa dengan sebagian besar berbentuk Tembang Macapat. Dari tembang-tembang Macapat ini oleh para dalang sering diambil menjadi sebuah wejangan dalam adegan-adegannya, meskipun tidak ditembangkan. Beberapa dalang mungkin hanya mengucapkan kalimatnya secara utuh, namun ada juga yang mengucapkan secara apa yang tersirat. Baik yang secara ditembangkan maupun diucapkan saja, yang jelas kesemuanya itu adalah Pitutur Luhur bagi penonton masyarakat agar berperilaku suci. 3.3 Sastra Lakon Setiap dalang wayang kulit ataupun wayang golek atau juga wayang yang lain tentu mahir menampilkan lakon/cerita untuk disajikan dalam karya pertunjukkannya. Bagi para dalang pecantrikan pun tentu telah mendapatkan banyak lakon dari sang guru pecantrikannya. Namun demikian, dalam perkembangan baik dalang senior maupun yuniornya masih juga membutuhkan penambahan untuk lebih banyak lagi mendapatkan perbendaharaan lakon/cerita demi kekayaan lakon itu sendiri. Untuk itu sebagai sarananya, mereka tentu harus banyak membaca buku-buku atau tulisan yang memuat tentang lakon/cerita wayang, baik yang berbentuk tembang (puisi) ataupun prosa. Buku atau tulisan yang memuat dan mengungkapkan lakon/cerita wayang dan identitas tokoh dalam pewayangan itulah yang disebut Sastra Lakon. Sejak jaman Hindu sampai sekarang buku-buku sastra lakon telah banyak diterbitkan dengan jumlah yang sangat besar dan berisi lakon/cerita yang hampir tak terbilang. Ada yang berbentuk prosa dan ada yang berupa tembang. Buku-buku atau tulisan, sastra lakon yang isinya berbentuk kalimat prosa, contoh: 3.3.1 Tantu Panggelaran Kitab ini tergolong tua, tetapi sudah menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Adapun isinya dengan berbahasa prosa, mengisahkan beberapa cerita, misalnya Batara Guru menciptakan sejodoh 113 manusia di pulau Jawa yang kemudian berkembang biak. Mereka belum berpakaian dan belum dapat bertutur kata. Para dewa diperintahkan untuk turun ke tanah Jawa supaya memberikan pelajaran kepada manusia agar mampu berbicara, berpakaian, membuat rumah dan alat-alat rumah dan lain sebagainya. Juga diceritakan bahwa pulau Jawa masih terapung sehingga mudah bergerak-gerak dan sering seperti timbangan. Sebelah timur berat, bagian barat mencuat ke atas dan sebaliknya. Dewalah yang akhirnya menerima perintah untuk menyeimbangkannya. Mereka terbang ke tanah Hindu (India) untuk mengambil puncak gunung Semeru dibawa ke pulau Jawa. Dimulai dari sebelah barat tanah gunung tadi dijatuhkan. Tetapi Jawa sebelah timur menjadi mencuat ke atas. Kemudian dari sebelah timur bagian tanah yang dijatuhi muncullah gunung-gunung, berupa gunung Katong atau gunung Lawu, gunung Wilis, gunung Kampud (Kelud), gunung Kawi, gunung Arjuna, gunung Kemukus dan puncaknya paling akhir jadilah gunung Semeru. Dengan tertanamnya puncak yang memunculkan gunung semeru, maka pulau Jawa tidak lagi bergerak dan bahkan tidak akan bergerak-gerak lagi. Di situ juga diungkapkan tentang terjadinya gerhana bulan yang menyadur cerita Mengaduk Samodera Manthana atau samudera susu dari kitab Adiparwa. Juga diceritakan tentang Batara Wisnu turun menjadi raja di Jawa bernama Prabu Kandiawan. Kemudian menurunkan putera-puteranya Sang Mangukuhan, sang Sandang Garba, sang Katung Malaras, sang Karung Kala dan Wreti Kandayun. Cerita prabu Kandiawan diturunkan ke kitab-kitab babad. Hampir di setiap kitab babad yang menceritakan jaman tersebut menyebut nama Kandiawan dan putera-puteranya. Kitab Tantu Panggelaran terkait dengan kitab babad. Dan di dalam kitab tersebut terdapat nama-nama Medang Kamulyan, Medang Tantu, Medang Panataran dan Medang Gana. Dalam kitab Tantu Panggelaran juga memuat cerita yang bersifat Panggeli Hati dan lain-lainnya. 3.3.2 Tantri Kamandaka Kitab Tantri Kamandaka bersumber pada kitab Pancatantra. Tantri Kamandaka berisi cerita tentang dongeng hewan. Namun kitab ini mengawalinya dengan cerita mirip seribu satu malam. Ada seorang raja, setiap malam harus kawin dengan wanita yang masih gadis. Maka semua gadis di negeri itu hilanglah keperawanannya. Seorang gadis, anak puteri sang patih tinggal satu-satunya yang masih memiliki keperawanan. Ia bernama Dyah Tantri. Cantik rupanya, molek parasnya. Ia tidak luput dari keinginan nafsu sang prabu. Akhirnya Dyah Tantri tidak bisa apa-apa kecuali iya dan iya. Tetapi atas kecerdikannya, Dyah Tantri minta didongengkan sebuah cerita. Karena sang prabu sangat sayang kepadanya, maka 114 mendongenglah sang prabu. Begitu dongeng tamat sang prabu menagih janji, Sang Dyah Tantri tidak menolak. Hanya dengan kelembutan budi dan bicara sopan, dia merayu mohon agar didongengkan sekali lagi. Mendongenglah sang prabu, dan tamatlah. Tagihan dirayu minta didongengi dan terus sampai sang prabu sendiri nafsu kawinnya menjadi berkurang banyak, bukan setiap malam. Maka tenanglah negeri itu. Dalam kitab ini juga diceritakan tentang prabu Anglingdarma yang mengerti akan bahasa dialog hewan. Pada suatu hari, ketika sang prabu Anglingdarma sedang berburu di hutan, dilihatnyalah dua ekor ular sedang berlilitan dan bercumbu rayu. Setelah diamati dengan seksama, ternyata si ular betinanya adalah putera sahabatnya Brahmana Naga raja. Dalam hati sang prabu mengatakan bahwa perilaku si Nagini itu tidak pantas sebagai anak brahmana. Maka sebagai raja yang juga mempunyai kewajiban menjunjung tinggi golongan brahmana, ular jantan itu dibunuh. Nagini dipukul sehingga lari terbirit-birit sambil menangis keras hingga mengagetkan para cantrik ular. Setelah tiba dan menghadap sang rama brahmana Nagaraja lalu melaporkan tindakan sang prabu Anglingdarma yang berani mau mengumpulinya. Karena tidak mau lalu diperkosa dan dipukuli. Tanpa pikir panjang, sang brahmana Nagaraja langsung menuju ke kerajaan menemui sang prabu Aridarma. Sampai di kerajaan brahmana Nagaraja berubah menjadi ular kecil langsung ke kamar peraduan, yang kebetulan sang prabu sedang beradu. Sebelum tidur sang prabu menceritakan perbuatan buruk si Nagini putera sahabatnya itu kepada permaisuri Dewi Mayawati. Mendengar pembicaraan itu ular kecil itu keluar dari bawah peraduan dengan berujud brahmana, sambil mengucapkan rasa terima kasihnya atas peringatan yang diberikan kepada si Nagini puterinya. Sang brahmana Nagaraja kemudian berkata kepada prabu Aridarma: “Sang prabu, karena anda telah berjasa kepada brahmana, maka perintahlah apa yang kau kehendaki!” Kemudian sang prabu menjawab ingin bisa dan mengetahui bahasa ucap dari semua hewan. Apa yang telah diinginkan prabu Aridarma dikabulkan, dan mengertilah sang prabu Aridarma terhadap semua bahasa binatang. Pada suatu saat, berdualah sang prabu di peraduan. Sang Aridarma mendengar suara seekor cecak sedang berkata dalam keluhannya: “Aduh setia sekali sang prabu Aridarma ini dengan Mayawati permaisurinya. Sedangkan aku ini punya suami tidak pernah menyayangiku, tidak pernah memegangku seperti sang prabu mengasihi sang permaisuri Dewi Mayawati.” Mendengar kata-kata keluhan dan sanjungan untuknya, sang prabu tertawa. Meskipun tawa itu hanya tawa kecil, namun itu sangat mengagetkan sang permaisuri. Maka hal itu ditanyakan dan hati Dewi Mayawati heran dan cemburu. Berhubung sang prabu Ari115 darma tidak menjawab (ilmu itu tidak boleh saiapapun mengerti) kalau menjawab pasti mati. Besar keinginan sang dewi tetapi tidak dijawab, maka memilih mati dibakar. Semua punggawa diperintahkan untuk membuat tungku perapian. Konon setelah jadi tungku perapian itu dan api mulai menyala, naiklah sang prabu bersama permaisuri. Sebelumnya, sang prabu telah bersedekah kepada fakir miskin dan para biksu. Dengan rukun serta penuh mesra sambil bergandeng tangan terus naik ke tungku perapian. Begitu sampai di puncaknya sang prabu mendengar suara kambing betina bernama Wiwita dan jantannya bernama Banggali. Pada saat itu Wiwita minta diambilkan janur kuning. Tetapi Banggali tidak mau dan Wiwita merasa tidak dicintai, kemudian ingin mati. “Kalau ingin mati, matilah”, begitu Banggali. Demikian sang prabu perasaannya menjadi lebih rendah dari Banggali. Maka turunlah sang prabu dari perapian, tidak jadi masuk ke dalam perapian. Mayawati dan Wiwita akhirnya masuk tungku perapian. 3.3.3 Kunjarakarna Kitab ini berisi seorang raksasa bernama Kunjarakarna yang ingin menghapus dosanya agar menjadi manusia. Ia kemudian menghadap kepada Batara Wairocana (dalam Pedalangan Maharsi Budha Wirocana) yang menjabat sebagai pimpinan Dyani Budha. Sang Kunjarakarna kemudian diperintah oleh sang Wairocana pergi ke neraka supaya mengetahui situasi kondisi neraka. Berangkatlah ia ke kahyangan sang Batara Yama. Sampai di kahyangan Yomani dan sesudah bertemu dengan sang Yama, kemudian diperlihatkanlah akan segala macam hukuman dan jiwa yang disiksa. Demi melihat sebuah kawah yang dibersihkan, sang Yama memberi tahu bahwa kawah itu dibersihkan untuk menghukum sang Purnawijaya putera Batara Indra yang sangat besar dosanya. Keluarlah Kunjarakarna dari neraka itu dan langsung menemui kawannya sang Purnawijaya. Kunjarakarna kembali menghadap sang Wairocana dan kemudian diwejang. Dengan taat Kunjarakarna menjalankan wejangan-wejangan itu, maka sang Kunjarakarna menjadi manusia berwajah bagus. Sang Purnawijaya juga minta wejangan kepada sang Wairocana. Maka ketika ia meninggal yang mestinya dihukum 100 tahun, hanya menjadi 10 hari dan nyawanya boleh dikembalikan ke tubuhnya. Kitab Kunjarakarna isinya sebagai pelajaran untuk orangorang Budha golongan elit (Mahayana). Dan kitab ini juga promosi agar mereka senantiasa melakukan hal-hal yang baik, sesuai dengan ajaran sang Budha Gautama. Sudah barang tentu hal ini juga merupakan ajaran kepada para birokrat lainnya, agar selalu berpegang teguh sebagai umatnya Sang Hyang Maha Budha. Sedangkan 116 penganut Budha yang terdiri dari kaum bawah, orang-orang miskin digolongkan sebagai umat Budha Hinayana. 3.3.4 Kitab Utara Kandha Kitab ini termasuk kitab Kandha yang paling baru. Memang dipetik dari cerita Ramayana Walmiki bagian akhir dari Kakawin yang berbahasa Jawa Kuna. Kitab Utara Kandha yang baru, ditulis dengan menggunakan gubahan baru, berbahasa prosa. Isinya bermacam- macam gubahan. Rincian ceritanya banyak sekali, misalnya terjadinya raksasa-raseksi, yaitu cerita tentang nenek moyang Dasamuka. Juga tentang lahirnya Dasamuka dan sikap dan sifat Dasamuka yang kejam dan tidak hormat kepada para dewa dan pendeta. Bahkan cerita Arjunasasrabahu-pun dimuat juga. Dalam kakawin Ramayana tidak memuat gubahan ini. Kitab Utara Kandha gubahan baru ini isi pokoknya adalah menceritakan Dewi Sinta ketika sudah pulang ke Ayodya. Dikisahkan bahwa masyarakat masih mencemburukan kepada Sinta tentang kesuciannya selama berada dalam belenggu Dasamuka. Mendengar berita kecemburuan masyarakat, segeralah Rama menyuruh Sinta pergi dari Ayodya dalam kondisi sedang hamil. Dalam perjalanannya sampai di sebuah pertapaan yang dihuni oleh seorang Empu bernama Walmiki. Kemudian Sinta tinggal di pertapaan tersebut hingga melahirkan bayi kembar laki-laki diberi nama Kusa dan Lawa. Dua orang anak Kusa dan Lawa inilah yang kemudian dididik Empu Walmiki sehingga pandai mampu membaca lontar, pandai bercerita. Bahkan bisa menceritakan kehidupan sang ayah yaitu Sri Rama hingga muncul buku Ramayana. Ketika Sinta akan kembali ke Ayodya memenuhi panggilan Sri Rama, tiba-tiba setelah beberapa langkah, buminya retak sangat lebar dan Sinta terjerumus ke dalamnya dan meninggal. Sri Rama tidak lama kemudian harus pulang ke kahyangan sebagai Wisnu. 3.3.5 Korawaçrama Dalam kitab ini menyebutkan sang Hyang Taya yang ditempatkan di atas Sang Hyang Parameçwara (Batara Çiwa atau Batara Guru). Dalam bahasa Jawa kata Taya berarti kosong atau tidak kelihatan, tidak bisa diraba, bersifat gaib. Sang Hyang Taya adalah nama untuk menyebut Tuhan orang Jawa-asli. Percaya kepada Sang Hyang Taya disebut Kapitayan. Di Jawa Sang Hyang Taya sama dengan Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Wenang, itulah Tuhan orang Jawa asli dan masih ada nama lain. Isi Kitab Korawaçrama juga beraneka ragam. Tetapi pokok isinya adalah para Korawa akan dilakonkan membalas dendam kepada Pandawa. 117 Bagawan Abiyasa diminta untuk menghidupkan kembali para Korawa dan para sekutunya. Mereka-pun hidup atas kehendak Sang Begawan. Kemudian mereka merencanakan untuk mengadakan pembalasan terhadap saudara-saudaranya yaitu Pandawa. Sudah barang tentu dengan wataknya yang sombong itu mereka akan membuat sakit dan siksa serta susah bagi orang-orang Pandawa, biarlah hidupnya tidak tenteram. Tetapi apa mau dikata, belum lagi sampai kepada pembalasan, habislah cerita itu. 3.3.6 Kitab Bharatayuda (saduran baru) Kitab ini jelas menyadur dari Kitab Bharatayuda yang lama. Disadur oleh Kiai Yasadipura jaman kerajaan Surakarta Islam. Tentu saja banyak hal yang disanggit untuk disesuaikan dengan pemikiran dan penalaran yang diperbarui oleh pengarangnya, dan yang pasti unsur ke-Islam-an tentu mendasarinya. Namanya saja menyadur, tentu ada hal-hal yang berbeda atau bahkan dibedakan sebab kondisi maupun situasi alaminya sudah mengalami pergeseran. Namun demikian banyak para ahli sastra yang mencela atau menyalahkan. Ki Yasadipura pun dalam penyaduran Bhratayudanya dianggap hanya meraba-raba tidak mengerti Bharatayuda aslinya secara mendalam. Kritikan Purbocaroko yang dianggap meraba-raba itu misalnya begini : Di dalam Kitab Kawi bagian 10 bait yang ke-6 berbunyi, “Kunang tawuri sang nrepang Kuru ya kari lud brahmana, rikan sira sinapa sang dwija sagotra matya laga”. Artinya, “Adapun tawur (tumbal atau korban) sang Duryudana adalah seorang brahmana (dengan cara dibunuh), menyusullah (tawur Pandawa), oleh sebab itu dikutuknyalah sang Duryudana oleh sang Brahmana itu, bahwa ia akan mati dalam peperangan bersama wangsanya. Ada lagi yang dianggap meraba-raba atau kurang pas, bagian ke-12 bait ke- 5 yang kalimatnya berbunyi: “…prabu ing Ngastina, tawurira pandita Sagotra nak putuneki apan kinarya tawur Ngastina neggih. “ Terjemahan: ….” Prabu di Hastina, tawur atau korbannya pandita, Sagotra beserta anak cucunya memang sungguh- sungguh dibuat tawur ( korban ) oleh Hastina.” Adapun yang dianggap salah faham yang berhubungan dengan Sagotra itu memang sudah lama. Di dalam lakon Bale Si Gala-gala, Sagotra adalah seorang satriya gunung (bang-bangan) yang baru saja kawin, tetapi istrinya tidak mencintainya. Berkat petunjuk Raden Arjuna, maka kedua-duanya mau saling menyeimbangkan cintanya. Jadilah hubungan suami istri itu sangat harmonis. Maka bersumpahlah Sagotra “Kelak jika perang Baratayuda terjadi, sanggup menjadi tawur (korban) untuk para Pandawa.” Demikan pula tentang matinya raden Jayad-ratha karena kepalanya terhempas oleh panah yang diceritakan dalam kitab Kawi 118 bagian ke-16 bait ke-7 yang demikian “teka mara ye kisapwani bapanya atemah sirah juga.” Artinya “datanglah di pangkuan ayahnya yang terperanjat karena ternyata hanya kepala saja. Kata ye kisapwani bapanya dipisahkan menjadi yeki sapwani bapanya. Dalam kitab Jarwa, sapwani lalu menjadi nama ayah raden Jayad-ratha, Bagawan Sapwani, yang dalam pewayangan menjadi Sempani. Dalam kitab Kawi bagian ke-18 bait ke-2 berbunyi : “kuneng apan eweh anggra batane gati karya temen. Si tutu tatanpa nanggaha mene kigegong sakareng”, artinya “memang sungguh berat (ewed) orang akan menyelesaikan perkerjaan yang penting tetapi si patuh tak memikirkan barang sesuatu, itulah yang saya jadikan pegangan sekarang ini.” Di sini kata Si tutu tatanpa diterjemahkan berbunyi si patuh tak memikirkan barang sesuatu-pun anut miturut boten mawi …. “ Si tutu ta menjadi Si tutu ka, lalu menjadi Si Tutuka atau Si Gathutkaca. Memang “ta” dalam bahasa Kawi sering tertukar menjadi “ka”. Tutuka ada yang mengucap Tutruka. Itu semua terjadi sewaktu Gathotkaca minta diri untuk berhadapan dengan Adipat Karna. Ada lagi ketika prabu Salya meninggal dalam pertempuran. Dewi Satyawati menerima laporan “wonten bhretya kaparcaya ‘tuha ya ta ‘jar i sira” (kita Kawi bagian 44 bait 1). Artinya ada prajurit yang dipercaya, dialah yang berdatang sembah kepadanya. Kata Tuha ya ta (tua ia itu) dijadikan nama patih negeri Mandraka bernama Tuhayata. Dan yang lebih hebat lagi dalam bentuk wayangnya patih Tuhayata ini menjadi terbakukan berwujud patihan bermuka hijau/biru. Bermata kedondongan, hidung dempak, berjamang dengan rambut terurai bentuk oren-gimbal, mengenakan sumping kembang kluwih, kalung ulur-ulur bermacam selendang, berkeris yang nampak ujudnya, menandakan ia bukan satriya. Mengenakan gelang berpontoh dan berkeroncong, berkain rapekan tentara, bercelana selendang (cindhe) (Harjowirogo, Sejarah Wayang Purwa,1982 : 241 ) Juga anak Raden Setyaki yang berjumlah 9 orang itu tidak disebut nama-namanya, hanya disebut Sang Asanga artinya mereka yang 9 orang itu. Akhirnya sampai sekarang disebut Raden Sangasanga. Masih banyak gubahan-gubahan yang baru dalam Bharatayuda Yasadipura. Nampaknya Bharatayuda ini sangat disenangi banyak orang. Terbukti buku ini sering dicetak tidak di satu tempat. Sedangkan isi ceritanya tetap Korawa dan Pandawa berebut Negara Hastina. 3.3.7 Sena Gelung Sena Gelung sebuah cerita wayang Jawatimuran petikan dari lakon Ramayekti versi Jawatimuran. Lakon Sena Gelung belum pernah terbukukan. Judul Sena Gelung-pun hampir-hampir belum banyak yang mengetahui. Hanya beberapa dalang saja yang pernah 119 menampilkan. Mereka tahu dan mengerti apa maksud dan tujuan lakon itu ditampilkan. Atas persetujuan ki Dalang Suleman, seorang dalang senior dari Gempol, Pasuruan, Jawa Timur dan didukung oleh para dalang yang lain, lakon Sena Gelung ini disusun dalam pakeliran singkat oleh Djumiran RA. Lakon ini dipentaskan pertama kali oleh ki Dalang Suleman dengan waktu 3 jam, tahun 1995 di kota Malang. Lakon ini terjadi setelah Bratasena selesai membabat hutan Samartalaya. Sementara belum mampu membuat besar, maka mereka para Pandawa hanya membuat rumah seadanya, dengan diberi nama Pondhok Waluh (rumah janda). Di luar Pondhok Waluh agak jauh, Bratasena yang juga bernama Pujasena (Wijasena) sedang duduk di atas batu sambil melamun dengan banyak pertanyaan. Aku ini bernama Sena, padahal Sena berarti prajurit. Prajurit kan harus sakti. Benarkah aku ini sakti. “Hm… kalau begini, aku jadi ingat pesan Abiyasa kakekku”. “Ketahuilah cucuku Sena, kamu besok akan menjadi orang kuat, kamu suka menolong, kamu akan menjadi sentosa dan kuat. Bersihkan dirimu, sisirlah rambutmu yang gimbal itu dengan Jongkat – Penatas, carilah !”. “Dimana aku harus mencari Jongkat Penatas? Siapa punya Jongkat itu? Siapa yang menyisir ? Demikian lamunan Sena tak kunjung henti. Semakin lama semakin dia berpikir. Memikirkan ibunya yang adalah seorang Walu (janda), adik dan kakanya dalam percarian makan sehari-hari masih harus bergantung kepada kekuatan pribadinya… “bagaimana ini”? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berkecamuk dalam pikirannnya melalui lamunan. Melamun, melamun terus melamun. Dia sang Wijasena semakin lupa akan tempat dimana dia berada. Siapapun yang lewat tidak akan tahu. Tetapi dengan tiba-tiba ia tergerak keras sampai tergeser duduknya. Ada apa gerangan ? Wijasena membelalakkan mata karena bahunya disentuh orang, langsung berdiri secara reflek tangan kanannya bergerak Nempeleng orang yang menyentuh tadi. Sudah barang tentu yang ditempeleng itu jatuh terjungkal jauh karena kerasnya tempelengan Wijasena. Tetapi orang itu terus ditolong sama Wijasena, sebab ia tahu bahwa yang ditempeleng keras sampai terjungkal itu Raden Patih Harya Suman. Sesudah agak reda maka bertanya BrataSena (Wija-Sena) kepada Sengkuni. “Paman Harya Sengkuni, ada apa sebenarnya bahwa patih meNemuiku dengan sikap yang mengagetkan aku?” Patih Harya Sengkuni/Suman dengan pura-pura bilang bahwa ada raksasa setan ngamuk mencari Bratasena. Merasa pernah membabad hutan Samartalaya dan serta merta membunuh setan, maka meloncatlah Wijasena lari mencari raksasa setan yang akan membalas dendam. Hati Sengkuni girang sukacita sambil meloncat-loncat bertepuk tangan. 120 Bratasena selalu ingat pesan Resi Wiyasa kakeknya, supaya hati-hati dalam bertindak. Jangan tergesa-gesa dan terburu nafsu dalam setiap mengambil keputusan. Terpaksa berhenti Wijasena sambil menanti patih Sengkuni. Wijasena bertanya: “Betulkah paman yang mencari aku itu raksasa setan?” patih menjawab dengan purapura “betul nak betul, mari nak keburu prajurit Astina banyak yang mati.” Seketika itu Wijasena meloncat dengan tiga loncatan, ternyata sebelum mendekat “benar-benar ada raksasa setan mengamuk.” Wijasena berdiri menyelinap sambil mengintip siapa sebenarnya raksasa yang disebut oleh Sengkuni “Buta (raksasa) – Setan” itu? Dari tempat mengintip, Wijasena sudah bisa memastikan bahwa itu bukan raksasa-setan tetapi memang raksasa. Wijasena juga mendengar raksasa itu mengatakan, namanya “Wreka” mencari kakaknya bernama Wangsatanu yang berada di negeri Astina. “siapa Wangsatanu?” pikir Wijasena. Dengan melihat perang kerubutan orang Astina terhadap Wreka seorang, Wijasena meloncat mendekat Wreka dipukuli, ditendang, dikenai pisau gobang, tusukan keris, tlorongan tombak di tubuhnya tidak dirasakan, bahkan tidak mempan. Bagi Wijasena, ini adalah penghinaan. Setelah dekat dengan raksasa itu, semua prajurit Astina disuruh menyingkir. Sekarang tinggal Wijasena dengan Wreka. Demikian Wreka merasa menemukan apa yang dicari. Maka ditubruknyalah Wijasena. “Lha… inilah yang kucari, he… kakang Wangsatanu, aku adikmu Wreka sangat merindukanmu, hayo kakang terimalah sembahku kakang.” Mendengar ajakan Wreka seperti itu, Wijasena menjadi marah …, dan semakin marah…, bahkan menjadi marah besar. Akibatnya dengan kekuatan yang sebesar kekuatan Wreka diringkus dan diinjak sampai tidak mampu bergerak, maka katanya si Wreka “jelas, jelas sekali kamu kakangku Wangsatanu, aku tidak akan menang denganmu kakang, jika tidak menerima sembahku, maka bunuh saja aku, asal yang membunuh kamu kakang Wangsatanu ya kakang Wijasena. Aku lega karena yang kucari sudah kutemukan.” Tidak berapa lama, datanglah wanara seta (kethek putih), si kera putih melerai keduanya. Wreka diajak mundur berada di belakang Wanara Seta (Anoman) yang berdiri berhadapan dengan Wijasena. Wanara Seta (kera putih) menjelaskan bahwa Wreka itu cantriknya sendiri di pertapaan Kendalisada. “Yang menempati Kendalisada itu aku sendiri. Nama saya Bhagawan Kapiwara, juga bernama Raden Anoman.” Wijasena merasa heran, kera kok pendheta, kera kok Raden (raden dari mana). Namun demikian Bratasena mengangguk tanda setuju. Kemudian Bratasena bertanya, ”ada maksud apa Wreka mencari Wijasena/Bratasena?” Anoman menjelaskan bahwa Wreka baru saja bermimpi akan mendapat ketenteraman jika sudah ber121 temu kakaknya yang bernama Wangsatanu yang berada pada pribadi satriya Astina. Kecuali itu Anoman juga menjelaskan bahwa syarat ketenteraman itu bisa diraih Wreka yang harus juga menyisir rambut gimbal milik seorang pemuda yang belum diketahui namanya. Syarat yang lain ialah nama Wreka harus dipakai oleh pemuda yang disisir itu. Wijasena rupanya tertarik dengan apa yang dikatakan oleh Anoman. Kemudian menanyakan siapa diri Anoman itu dan kenapa busana yang dipakai Anoman sama dengan busana yang dipakainya. Padahal busana yang dikenakan Wijasena pemberian Sang Batara Bayu. Begitu mendengar pertanyaan Wijasena, Anoman sang wanara seta (Anjila) teringat akan pesan sang guru nadi (Batara Vayu/ Bayu) bahwa kalau ketemu pemuda yang berbusana sama itulah saudaramu Satu Puruhita bernama Bratasena/Wijasena (Bungkus). Sesudah semuanya jelas maka Wreka yang sudah lama membawa pusaka Jungkat Penatas segera menyisir rambut gimbalnya Wijasena. Terurailah rambut gimbal Bratasena. Puaslah Wreka karena sembahnya diterima. Oleh Anoman rambut yang sudah terurai bersih kemilau kehijau-hijauan itu digelung. Karena digelung brodhol-brodhol (terurai) terus, sehingga harus disangga dengan sumping Pudhak Sinumpet. Maka selesailah Gelung Wijasena, dan diistilahkan Gelung melengkung pindha lung gadhung (gelung melengkung seperti ranting pohon gadung). Ketiganya saling merangkul dan nama Wreka terus dipakai oleh Bratasena menjadi Wrekodara (Wreka artinya anjing ajag, udara artinya perut). Upacara Sena Gelung diberi nama Pujasena Cawis Prawira. 3.3.8 Sastra Berbentuk Kakawin Buku/tulisan sastra lakon/cerita yang berbentuk tembang Kawi atau Kakawin, di antaranya ialah: 3.3.8.1 Kresnayana, karangan Empu Triguna. Isinya meriwayatkan Kresna yang sebagai anak nakal sekali, tetapi dikasihi orang karena suka menolong dan mempunyai kesaktian yang luar biasa. Setelah dewasa ia menikah dengan Rukmini dengan jalan menculiknya. 3.3.8.2 Gathotkacaçraya, karangan Empu Panuluh Isinya menceritakan peristiwa perkawinan Abimanyu dengan Siti Sundhari, yang hanya dapat dilangsungkan dengan bantuan sang Gathotkaca. Dalam kitab ini untuk yang pertama kali muncul tokoh-tokoh punakawan, seperti Jurudyah, Prasanta dan Punta sebagai pengiring Raden Abimanyu. 122 3.3.8.3 Arjuna Wiwaha, karangan Empu Kanwa Isinya meriwayatkan Arjuna yang pertapa untuk mendapatkan senjata, guna keperluan perang melawan Korawa, kelak dalam Bharatayuda. Sebagai petapa Arjuna berhasil pula membasmi raksasa Nirwatakawaca yang menyerang Kahyangan. Sebagai hadiah, Arjuna boleh hidup di Indraloka beberapa lama. Kitab ini digubah oleh Empu Kanwa pada masa Airlangga raja di Jawa Timur dari sekitar tahun 941 – 946 saka (019 – 1042 Masehi). 3.3.8.4 Smaradahana, karangan Empu Darmadja Ketika batara Siwa sedang bertapa, seorang raja raksasa bernama Nilarudraka datang di Kahyangan untuk merusak Sorga. Sang Kamajaya disuruh oleh para dewa untuk menyusulnya. Sampai di tempat bertapa, Kamajaya berkali-kali membangunkan tapanya dengan berbagai cara, tetapi gagal. Dicoba dengan panah bunganya- pun gagal juga. Akhirnya dipanah pamungkasnya yaitu panah Pancawiyasa yaitu sebuah panah yang bisa membangkitkan rasa rindu-dendam terhadap pendengaran dan persaan, penglihatan yang serba nikmat. Seketika itu juga, Batara Siwa rindu terhadap isterinya Sang Batari Uma. Namun Batara Siwa marah karena tahu bahwa itu adalah ulah Kamajaya. Maka dari “mata-ketiga” Batara Siwa terpancarlah api menempuh dan membakar Kamajaya sehingga matilah Kamajaya. Batara Siwa melenjutkan perjalanan pulang ke Sorga. Sampai di Sorga bertemulah dengan permaisuri, kerinduan bisa lepas dan tersalur hingga sang Batari hamil. Sementara Kama Ratih mencari sang suami yang mati terbakar, terlihat tangan Kamajaya bagaikan melambai-lambai, maka Ratih menggelebyur ke dalam nyala api (dahana mulat) hingga terbakar dan mati. Oleh Batara Siwa keduanya tidak dimaafkan, Kamajaya disuruh menyatu dengan tubuh setiap lelaki dan Batari Ratih harus menyatu pada tubuh setiap perempuan sampai sekarang. Dicerikan kehamilan sang Batari Uma telah sampai pada saat kelahirannya. Maka lahirlah seorang bayi (jabang-bayi) berkepala gajah. Ini akibat dari waktu hamil sang Uma terkejut melihat gajah yang dibawa oleh para dewa ketika pura-pura menjenguk Batara Siwa. Bayi yang lahir itu diberi nama Batara Ganesa. Kehadiran raja raksasa Nilarudraka yang akan merusak sorga itu dapat dipukul mundur dan dibunuh oleh Ganesa. Kitab Smaradahana juga menyebut nama raja Kediri Prabu Kameswara titisan Kamajaya yang ke-3. Parameswari Sri Kirana Ratu sebagai titisan Kama Ratih. Pemerintahan Kameswara ini terjadi pada tahun 1037 – 1052 Saka atau tahun 1115 – 1130 Masehi. 123 3.3.8.5 Bomakawya Kitab ini berisi cerita peperangan antara Sri Kresna melawan sang Boma. Demikianlah cerita peperangan tersebut. Kehadiran Batara Narada di negara Dwarawati minta tolong kepada Sri Kresna agar membunuh para bala raksasa anak buah (prajurit) sang Boma, yang sedang mengepung ke Inderaan. Samba putera Sri Kresna diperintahkan untuk berangkat mendahului bersama- sama beberapa tentaranya. Sampai di kaki gunung Himalaya, bertempurlah mereka melawan raksasa-raksasa dan musnahlah semua bala raksasa. Dengan berakhirnya perang itu Raden Samba melihat sebuah pertapaan rusak dan sepi, hanya ada seorang jejanggan bernama Puthut Gunadewa. Di situlah Raden Samba menanyakan bagaimana riwayat pertapaan itu. Sang Gunadewa kemudian menceritakannya, bahwa tempat itu adalah bekas pertapaan Sang Dharmadewa putera Batara Wisnu. Sesudah sang Dharmadewa wafat, maka permaisurinya menjadi tapa-tapi di pertapaan tersebut. Tetapi tidak lama kemudian, permaisuri yang bernama Yadnawati itu meninggal. Terakhir pertapaan ini ditempati oleh seorang pendeta gurunya Gunadewa bernama Pendeta Wismamitra. Mendengar cerita si jejanggan Gunadewa, maka terlintaslah kembali dalam ingatan Raden Samba bahwa Dharmadewa (putera Wisnu) itu adalah dirinya sendiri. Ia sekarang sangat rindu kepada Yadnawati. Sementara kerinduan Raden Samba terhadap Yadnawati tidak terbendung, datanglah Batari Titlotama yang mengatakan bahwa Yadnawati menitis pada puteri raja dari utara nagara dan namanya tetap Yadnawati. Tetapi karena kerajaan diserang oleh seorang raja raksasa prabu Boma, ayah ibunya meninggal. Kini sang puteri dipelihara sang Boma. Raden Samba diantar oleh Batari Titlotama, dengan diamdiam menemui sang Yadnawati. Di situ pula Samba berhadapan dengan bala raksasa penjaga. Samba mampu mengalahkan para penjaga dan matilah penjaga itu. Tetapi Yadnawati telah dibawa oleh Boma ke negaranya yang lain di Projatisa. Batara Narada datang memberitahukan agar Raden Samba kembali ke Dwarawati, sebab di situ bahaya mengancamnya. Cepatcepat Raden Samba ke Dwarawati tetapi tak bisa bertemu kekasihnya sang Yadnawati. Gandrung tak terelakkan hingga sakit. Kresna ayahnya marah, Boma dibunuhnya. Raden Samba sembuh dan lalu dipertemukan dengan Yadnawati, bermadu asmara. Buku ini pengarangnya tidak jelas. 124 3.3.8.6 Sutasoma Raden Sutasoma seorang pangeran yang diperanakkan oleh raja Mahaketu di negeri Astina. Ia tidak mau diangkat sebagai pengganti ayahnya dan juga tidak mau dikawinkan, ia pemeluk Budha Mahayana, sangat rajin. Suatu saat Raden Sutasoma pergi dari istana, semua pintu terbuka bagaikan memberi jalan kepadanya. Dengan kepergian Sutasoma tentu raja dan parameswarinya sangat sedih. Penghibur istana tidak terhiraukan. Perjalanan Raden Sutasoma sampai di sebuah hutan, melihat kuil kecil dan masuklah ia memuja kepada Maha Budha. Datanglah batari Widyukarali yang memberitahu bahwa permohonannya dikabulkan. Kemudian Raden Sutasoma naik ke gunung Himalaya dengan dihantar oleh para pendeta. Sampai di sebuah pertapaan, semua yang dilakukan Raden Sutasoma diceritakan kepada orang yang ada di situ. Di samping itu, Raden Sutasoma juga mendapat cerita tentang seorang raja yang bagus rupa tetapi titisan raksasa yang gemar memakan daging manusia. Raja itu bernama prabu Purusada atau Kalmasapada. Suatu saat daging yang akan disantap hilang dimakan anjing dan babi. Sudah barang tentu pelayan itu bingung. Maka dicarinyalah mayat manusia yang baru untuk diambil dagingnya sebagai santapan sang prabu Purusada. Ternyata pelayan itu langsung memasak daging yang didapatnya. Setelah disantap, ternyata daging sebanyak itu habislah. Dengan merasakan segar dan nikmat, sang prabu Purusada menanyakan daging apa yang baru disantapnya? Dengan jujur ia menjawab ”daging manusia”. Demikian kesenangan makan daging manusia bagi sang Prabu Purusada semakin tak terbendung. Akibatnya penduduk di negeri itu habis dimakan. Karena kuasa Sang Hyang Wenang, raja raksasa itu terluka kakinya dan tidak bisa disembuhkan, akhirnya ia benar-benar menjadi raksasa penghuni sebuah hutan. Sang Purusada merasa tersiksa atas kakinya yang sakit itu. Lalu berjanji akan mempersembahkan seratus raja untuk santapan batara Kala bila sembuh kembali. Batari Pertiwi dan para dewa meminta Sutasoma untuk membunuh raja Purusada, tetapi tidak mau. Raden Sutasoma meneruskan perjalanannya dalam rencana untuk bertapa. Dalam perjalanannya Raden Sutasoma bertemu dengan raksasa berkepala gajah yang juga pemakan daging manusia. Kebetulan Raden Sutasoma tidak mau dimakan, maka bergulatlah, dan raksasa terguling ditindih olehnya. Ia merasa keberatan, bagaikan tertindih gunung. Raksasa berkepala gajah itu kemudian tunduk kepada Raden Sutasoma. Diajarlah ia supaya tidak suka membunuh orang dan kemudian menjadi sahabatnya. Seekor naga besar yang menyambar Raden Sutasoma ternyata bisa ditaklukkan oleh raksasa kepala gajah dan menjadilah 125 muridnya. Ada seekor harimau yang akan memangsa anaknya sendiri (gogor). Oleh Raden Sutasoma dilarangnya, harimau tadi memakan dirinya. Langsung saja Raden Sutasoma ditubruknya dan matilah. Dengan kesadaran sendiri harimau itu merasa berdosa dan menangislah pada kaki Raden Sutasoma dan ingin mati saja. Sutasoma dihidupkan oleh Batara Indra. Setelah saling berdialog, Indra kembali ke Kahyangan. Raden Sutasoma lalu bertapa. Meskipun banyak godaan tetapi tak tergoda, malah menjelma sebagai sang Budha Wairocana. Setelah para dewa ingin menghormat maka menjadi Raden Sutasoma kembali dan langsung pulang. Sepupu Raden Sutasoma yang bernama Prabu Dasabahu sedang berperang melawan tentara raksasa Prabu Kalmasapada. Raksasa kalah mengungsi kepada Raden Sutasoma. Prabu Dasabahu, mengejarnya ternyata ketemu dengan sepupunya. Bala raksasa disuruh kembali. Raden Sutasoma diajak pulang ke negerinya, terus dikawinkan dengan adiknya Prabu Dasabahu, dan berputralah mereka, terus pulang ke Astina bergelar Prabu Sutasoma. Prabu Purusada yang sudah mampu mengumpulkan 99 orang raja tinggal seorang saja segera akan diserahkan ke Batara Kala. Ternyata setelah ketemu dengan Prabu Sutasoma yang sanggupkan dirinya sebagai penggenapan jumlah 100 orang raja. Sebelum sampai di hadapan Batara Kala, sang Prabu Purusada terharu akan kesanggupan Prabu Sutasoma. Akhirnya bertobatlah sang Purusada dan 99 orang raja tawanan dibebaskan. Kitab Sutasoma ditulis pada jaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk di Kerajaan Majapahit. Induk karangan ada di negeri Indu. Sayang sekali siapa penulisnya tidak diketahui dengan jelas. 3.3.8.7 Parthayadnya Purbocaroko, dalam Kapustakan Jawa-nya mengungkapkan bahwa buku Parthayadnya sederet dengan Kitab Arjunawijaya dan Sutasoma. Pernyataan pada isi buku, bahwa buku ditulis pada jaman Majapahit pertengahan sampai akhir. Isi kitab ini mengisahkan kehidupan orang Pandawa sesudah kalah main dadu. Mereka dipermalukan, dianiaya diseret ke hadapan para raja yang berkumpul di negara Astina. Kemudian dibuang ke hutan selama 12 tahun. Akhirnya dalam mempersiapkan diri, oleh Yudhistira, Arjuna disuruh bertapa di gunung Indrakila. Dalam perjalanannya sang Arjuna singgah di pertapaan Bagawan Mahayani di dalam hutan Wanawati. Ketika laju perjalanannya Arjuna bertemulah dengan Dewi Sri (wahyu istana Indraprastha) yang pergi meninggalkan istana karena raja Yudhistira telah berbuat kurang pantas. Ia sanggup kembali ke istana asal dipelihara. Maka gaiblah wahyu Dewi Sri. Arjuna juga bertemu dengan Kamajaya dan diberi wejangan- wejangan berharga dan diberi peringatan bahwa akan datang mara bahaya yang dibawa oleh seorang raksasa bernama Nalamala 126 yang berkepala 3, yaitu sebuah kepala gajah, sebuah kepala raksasa dan yang ketiga kepala garuda. Setelah diperingatkan oleh Kamajaya, tidak lama kemudian Arjuna diserang oleh Nalamala. Tetapi hanya dengan bersemedi sang Arjuna nampak berbadan Batara. Nalamada takut dan pergilah dengan ancaman suatu saat nanti akan ketemu berperang lagi, pada jaman Kaliyuga. Dalam perjalanan selanjutnya Arjuna bertemu dengan sang kakek Maharsi Wiyasa. Diberi petunjuk dan wejangan tentang perilaku hidup dan kehidupan bagi seorang satria bangbangan (bambangan). Usai diberi wejangan, di antar ke Indrakila dan bertapalah. Prof. Dr. R.M.Ng. Purbocaroko dalam Kepustakaan Jawanya, menjelaskan bahwa Kitab Parthayadnya tidak mengandung lakon. Hanya menceritakan perjalanan Raden Arjuna untuk menuju bertapa ke Indrakila yang dalam perjalanannya mendapatkan ajaran dan ilmu bermacam-macam. Penulis buku Parthayadnya juga tidak jelas, namun hal ini disejajarkan dengan kitab Sutasoma. Demikian beberapa buku (tulisan/sastra) yang diambil dari buku yang bertembang dan sastra prosa. Tentu masih banyak bacaan- bacaan lain yang berhubungan dengan sastra lakon. 3.4 Sastra Gending Gending adalah lagu-lagu yang dimainkan dengan menggunakan gamelan. Pembicaraan Sastra Gending tidak akan mengutamakan masalah gendingnya, tetapi lebih dikhususkan pada Kesusasteraan yang ada kaitannya dengan gending, yaitu Kesusasteraan termuat dalam tembang. Dalam bernyanyi atau nembang sering terdengar istilah syair (cakepan), bawa atau buka, Jineman, umpak, senggakan, gerong, sindhenan, laras, titilaras, irama, pathet, cengkok, merong, dan pedhotan. 3.4.1 Syair (Cakepan). Cakepan itu berupa sususan kata-kata terpilih yang kemudian tersusun menjadi kalimat indah dan kemudian dipakai dalam tembang, gerong, senggakan, suluk, sindhenan, Jineman. Jadi jangan salah tafsir, bahwa yang dimaksud cakepan itu bukan tembangnya, melainkan kata-katanya. Biasanya dalam cakepan memuat Purwakanthi (kalimat bersanjak) guru swara, guru sastra, lumaksita. Demikian juga memuat parikan, wangsalan, guritan dan sebagainya. Selanjutnya bagi seorang vokalis sudah tentu akan bernyanyi dengan melagukan kalimat tembang dengan jelas. Si pendengar akan menangkap lebih jelas sehingga tujuan kalimatnya dapat dimengerti dengan jelas juga. Orang nembang jawa jangan grayem (suara senandung) dituntut perubahan huruf vokal harus jelas. 127 3.4.2 Bawa / Buka Bawa adalah sebuah lagu vokal sebagai pendahulu gending yang akan dimainkan. Namun demikian permainan sebuah gending juga bias didahului dengan Buka, yang pada umumnya menggunakan instrument gamelan Rebab atau Gender. Biasanya juga dengan Bonang atau dengan Kendhang, dan biasa juga dengan menggunakan Gambang meskipun jarang. Yang jelas sebelum Buka / Bawa dilagukan, seyogyanya ada lagu pathetan agar tidak terjadi tumpang tindih suasananya. 3.4.3 Jineman Jineman itu bagian dari kalimat bawa yang dilagukan secara bersama. Bisa dilagukan oleh para vokalis (wiraswara) sebuah panembrama. Jineman juga sebuah bentuk lagu yang permainannya dilagukan oleh sorang Sindhen bersama gamelan yang bernada lembut saja, misalnya Gender Barung (Gender babon), Gender Penerus (Gender lanang), Slenthem, Siter, Kendhang, Gong kempul dan Kenong, contoh Jineman Uler Kambang, Mari Kangen, Kandheg, dan sebagainya. 3.4.4 Umpak Umpak-umpak adalah bagian gending yang tidak digerongi, khususnya bagi gending yang berbentuk ketawang. Umpak-umpak seperti ini biasanya dimulai dengan menggunakan buka swara atau salah satu alat gamelan. Ada lagi umpak-umpak yang menggunakan syair atau kata (cakepan), itu biasanya dilagukan pada penyajian panembrama., dan cakepannya biasanya menggunakan parikan, contoh rujak nangka rujake para sarjana, aja ngaya dimen lestari widada. Kalimat dua baris yang di atas itu berupa parikan isinya memberikan patuah kepada setiap insan hidup dalam kehidupannya agar berlaku sabar tidak emosional supaya mendapat selamat, contoh parikan lain kembang menur tinandur ing pinggiring sumur, miyar miyur atine wong ora jujur. Kalimat parikan di atas juga mengandung pendidikan bagi setiap umat manusia agar di dalam kehidupannya melakukan kejujuran. Namun perlu dimengerti, bahwa kedua cakepan tersebut yang menggunakan kata awal rujak dan kembang juga berupa purwakanthi. Cakepan yang diawali dengan kata rujak dalam sastra Jawa disebut purwakanthi swara, dan yang diawali dengan kata kembang disebut purwakanthi aksara. 3.4.5 Senggakan Ada satu atau beberapa kata yang terlontar pada sela-sela cakepan yang dibunyikan, kata-kata itu didalam kesusasteraan Jawa 128 dinamakan orang sebagai Senggakan. Ada senggakan yang dilagukan dan ada yang tidak dengan dilagukan. Contoh senggakan yang dilagukan: ayu kuning bentrok maya, sing lanang seniman, sing wadon seniwati, e.. obakso.., eling-eling sing peparing...dan lain-lain. Yang sangat aneh, bahwa antara cakepan dan senggakan tidak ada keterkaitan baik arti ataupun maksud dan tujuannya, tetapi bersatu dalam sebuah bingkai gending atau lagu. Sedangkan senggakan yang tidak dilagukan misalnya: ha.. e, so…, lho..lho..lho.., ha..yo..ta.., dan lain sebagainya. Tanpa lagu tetapi membikin semarak dari gending/lagu yang di senggaki. Demikian juga yang terungkap dengan lagu itupun juga menambah suasana menjadi lebih gembira, suka cita dan menyegarkan jiwa. 3.4.6 Gerong Gerong adalah nembang bersama-sama, dibarengi dengan gamelan dalam memainkan gendingnya. Gerong ini ditembangkan sesudah umpak-umpak. Biasanya menggunakan cakepan yang diambil dari tembang Macapat yang jumlahnya 14 atau 15 buah itu, misalnya: Kinanthi Nalikanira inga dalu Wong agung mangsah semedi Sirep kang bala wanara Sadaya wus samiguling Nadyan ari sudarsana Wus dangu nggenira guling Pucung Ngelmu iku kalakone kanthi laku Lekase lawan khas Tegese khas nyantosani Setya budya pangekese durangkara Bisa juga cakepan gerongan ini diambil dari tembang Tengahan, misalnya: Juru Demung Cirine serat iberan Kebo bang sungunya tanggung Saben kepi mirahingsun Katon pupur lelamatan Kunir pita kusut kayu Wulu cumbu madukara Paran margining ketemu 129 Balabak Rogok-rogok asradenta gedhe-dhuwur Dedege Godheg tepung mberuwes nggabres anjemprok Jenggote. Girisa Amiyos kang Jeng Sang Nata, saking paraba suyasa ginarbeging upacara, kang ngambil srimpi badhaya myang manggung ketanggung jaka, palara-lara sadaya Sri Nata ngrasuk busana, kadhaton tuhu respatya. Jadi seperti yang tergabung dalam penataan karawitan bahwa gerong sering terucap nggerong adalah nembang. Gerongan adalah barangnya, penggerong adalah pelaku (wiraswara). Untuk itu perlu dipertegas bahwa gerongan yang berwujud barang yang ditembangkan itulah yang termasuk di dalam bingkai sastra gending. Sebagian besar dari kalimat-kalimatnya berisi tentang pendidikan jiwa bagi semua umat manusia. 3.4.7 Sindhenan. Pelaku Sindhenan disebut Pesindhen. Kata Sindhenan berasal dari kata Sindhen. Dalam ucapan sehari-hari secara sastrawi kata Sindhen ini sering dikaitkan dengan kata Sesendhonan, sehinga menjadi Sindhen Sesendhonan. Kata sesendhonan berasal dari kata sendhon, dan kata sendhon berasal dari kata Jawa Sendhu yaitu tegur, disendhu artinya ditegur. Sindhen Sesendhonan dalam bahasa Jawa Sastrawi berarti tetembangan. Dengan demikian sindhen pun bisa diartikan tetembangan. Lalu apa yang ditembangkan? Sudah barang tentu kalimatkalimat bahasa jawa yang sastrawi berbentuk parikan ataupun purwakanthi. Beberapa contoh wangsalan dalam sindhenan: sayeng kaga (kala), kagakresna mangsa sawa (gagak), wong susila, lagake anujuprana, ancur kaca (banyurasa), kaca kocak mungging netra (tesmak), wong wruh rasa, tan mama ing tata karma, mong ing tirta (Baya), tirta wijiling sarira (kringet)sapa baya, banget ngudi basa jawa, Ngrekapuspa (nggubah), puspa nedheng mbabar ganda (mekar) Nggubah basa mrih mekar landheping rasa, Carang wreksa (pang), wreksa kang rineka janma (golek), Nora gampang, golek krawuh mrih kaonang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang pesindhen dalam karyanya akan memberi teguran, mengingatkan dan bisa disebut mendidik, memberi sindiran kepada manusia. 130 3.4.8 Irama Pada hakekatnya irama itu adalah sebuah tempo atau jarak waktu. Jarak waktu di dalam karawitan berupa tempo untuk mengatur jarak pukulan satu ke pukulan lainnya. Untuk itu demi teraturnya irama dan sesuai dengan karakter gending, sajian irama dapat diatur sebagai berikut: Irama lancar, bisa juga disebut irama setengah, Irama lamba, bisa disebut irama kebar atau irama siji (satu), Irama dadi, juga disebut irama loro (dua), Irama wiled atau irama telu (tiga atau ciblon), Irama rangkep atau irama papat (empat). Ada lagi irama yang namanya sesuai dengan bentuk/nama gending, misalnya Irama srepek sejenis irama satu, Irama sampak sejenis irama setengah, Irama palaran sejenis irama srepek dan sampak. Masih ada sebuah irama yang perjalanannya tergantung pada pelaku, yaitu disebut irama Bebas. Irama ini sering tersaji dalam lagu Tembang Jawa yang berbentuk Bawa, tembang Macapat Tengahan dan Ageng Andhengan. Irama bebas dalam tari sering terjadi, dan disebut irama dalam hati. Irama bebas dalam pewayangan setiap saat bisa terjadi. 3.4.9 Cengkok Cengkok itu adalah lekuk-lekuk suara yang dibawakan oleh seseorang vokalis. Namun seiring wirawiyaga juga bisa membawa cengkok itu kedalam tabuhan. 3.4.10 Merong Merong adalah bagian gending yang belum minggah ,contoh Gending Gambirsawit kethuk 2 kerep minggah 4. Ada merong yang digerongi, ada yang tidak digerongi, yaitu dengan disindheni saja. Dalam Merong ini Sastra Gending sangat jelas, dibawakan oleh Pesindhen. 3.4.11 Pedhotan Pedhotan yang dimaksud di sini bukan pedhotan dalam tembang, tetapi pedhotan dalam gending. Istilah pedhotan dalam gending mungkin generasi muda jarang mendengar, tetapi lebih sering di dengar dengan istilah Pos. Pada waktu lampau (th 40-55) disebut Pedhotan artinya berhenti sebelum suwuk dan bukan di akhir gending. Karena dilakukan mandheg (berhenti sejenak) lalu disebut Andhegan. Selanjutnya perlu diketahui dari sub poin 3.1 cakepan sampai dengan sub poin 3.14 Pedhotan yang merupakan unsur-unsur Sastra Gending yang di dalam Sekar Macapatnya Kanjeng Panembahan Senapati Mataram tembang Sinom, contoh: Marma sagung trah Mataram, kinen wignya tembang kawi, 131 jer wajib ugring ngagesang, ngawruhi titining ngelmi, kang tumraping praja ‘di, yembang kawi asalipun, tan lyan titining sastra, paugeraning dumadi, nora nan kang liya tuduhing sastra. 3.5 Sastra Antawacana Dalam pelajaran Antawacana pada Sekolah Menengah Kejuruan Negeri jurusan Seni Pedalangan, dapat dibagi-bagi menjadi Janturan, Ginem, Pocapan. Ketiga-tiganya tentu membutuhkan kecermatan didalam pengucapan, memilih kata, ingat akan tingkatan bahasa / unggah-ungguh basa dan parama sastra. ini harus dilakukan dengan persiapan yang super hati-hati, agar di dalam sajian pertunjukkan si penonton pulang dengan membawa kepuasan. Untuk itu semua perlu dibicarakan satu per satu. 3.5.1 Janturan Pada hakekatnya Janturan itu sebuah orasi seorang dalang yang ingin menjelaskan tentang apa yang disajikan pada pakelirannya. Kebanyakan janturan yang berlaku pada pertunjukkan wayang berupa kalimat-kalimat indah (basa rinengga) diucapkan secara gancaran dan lesan. Isinya janturan menceritakan dan mengupas situasi dan kondisi suatu Negara. Namun sebagaimana umumnya yang berlaku pada pewayangan jawa, baik Jawa Tengah, Jawa Barat maupun Jawa Timur dan Bali, orasi ini berwujud Jejer suatu Negara / kerajaan, pertapaan, rumah panakawan. Janturan yang berisi panyandra (menggambarkan) dan menceritakan bagaimana suasana suatu Negara / pertapaan, rumah. Biasanya diambil dari hal-hal yang baikbaik saja, kecuali Jejer Astina atau di tempat raksasa. Dalam adegan Jejer, apabila masih dalam kondisi pathet Nem (Solo, Yogya, Banyumas) suara dalang saat berorasi harus berada pada bilah 2 atau 6. Kata-kata / kalimat-kalimat yang rangkaiannya berupa gaya bahasa indah (Basa rinengga) tersusun dengan memilih kata yang sudah berdasanama (sinonim) sehingga membentuk menjadi basa pedalangan. Jejer di dalam wayangan semalam suntuk terjadi minimal 3 kali, dan bisa sampai 5 atau 6 kali, yaitu jejer I, pada awal dimulai pertunjukkan kira-kira pukul 21.00. Kemudian jejer II terjadi sesudah “Budhalan” prajurit dengan naik kuda, kira-kira pukul 23.00. selanjutnya jejer ke III terjadi sesudah ada tanda peralihan waktu dari wilayah pathet Nem masuk ke dalam wilayah pathet Sanga. Maka jejer ke III ini terjadi sudah berada dalam wilayah pathet Sanga, sehingga 132 peristiwa jejer III sering disebut Jejer Sanga I. Sering juga sebelumnya diisi gara-gara. Peristiwa dari jejer I, jejer II dan seterusnya itulah janturan ikut berpersan aktif sebagai sarana penjelasan kepada para penonton. Secara structural, janturan jejer tersusun demikian Pertama Adangiyah (kata-kata awal) Berbunyi “swuh rep data pitana” artinya dari kosong (/suwung, sepi / mandheg / mati ), akan digelar kehidupan di dunia ini. Dalam hal ini sebagai penggelar kehidupan adalah Sang Maha Hidup (yang punya hidup) yang di dalam seni pertunjukkan wayang kulit dilambangkan bahwa Sang Dalang yang menceritakan lakon. Kedua Pambuka berupa penjelasan Sang Dalang kepada penonton di awal cerita, contoh janturan. ……….. Hanenggih nagari pundit ta ingkang kaeka adi dasa purwa. Eka sawiji, adi linuwih, dasa sepuluh, purwa wiwitan. Sanadyan kathah titahing dewa, ingkang kasongan ing angkasa, kasangga pratiwi kapiting samodra, kathah ingkang sami anggana raras boten wonten kadi nagari Dwaraka ya Dwarawati. Mila kinarya bubuka, ngupayaa nagari satus tas antuk kalih, sanadyan sewu tan jangkep sadasa. Mila winanstan Dwarawati dados palawangane jagad, utawi wenganing rahsa, Dwaraka panggenan pambuka. Ketiga isi berupa untaian kalimat yang menjelaskan tentang Gambaran suatu Negara yang dikelirkan (dilakonkan). Biasanya tentang kemakmuran Negara, keadilan (watak adil para marta) dan kebijakan pemerintah. Bagian isi ini berbunyi agak panjang dan diakhiri penjelasan. Tentang keperluan sang prabu pada pemerintahannya. Isi dalam janturan itu biasanya berbunyi sebagai berikut : ………..Dhasar nagari panjang-punjung, pasir wukir loh jinawi gemah aripah karta tur raharja. Pajang dawa, punjung luhur kawibawane, pasir samodra wukir gunung, dene nagari ngungkurake pegunungan, ngeringake pasabinan nengenake benawi ngayunaken bandaran gedhe. Loh tulus kang sarwa tinandur, jinawi murah kang sarwa tinuku. Gemah para lampah dagang rahinten dalu tan ana pedhote, labet tan ana sangsayaning margi. Aripah janma manca kang samya gegriya ing salebeting praja katingal jejel riyel aben cukit tepung taritis, papan wiyar katingal rupak saking rejaning praja. Karta kawula ing padhusunan padha tentrem atine, mungkul pangolahing tetanen. Ingon-ingon kebo sapi, pitik iwen tuwin raja kaya tan ana kang cinancang, yen rahina aglar ing pangonan, yen bengi mulih marang kandhange dhewe-dhewe. Raharja tebih ing parangmuka. Para mantra 133 bupati padha kontap kautame, bijaksana limpad ing kawruh, putus marang pangrehing praja, tansah ambudidaya kaluhuraning nata. Dhasar nagari gedhe abore, padhang jagade, dhuwur kukuse, adhoh kuncarane. Boten namung ing tanah jawi kemawon ingkang sami sumujud, sanadyan para narendra ing mancanagari kathah ingkang sumawita tanpa karana ginebaging bandayuda, among kayungyun marang popoyaning kautaman. Bebasan ingkang celak manglung, ingkang tebih tumiyung. Saben antara mangsa sami asok bulubekti, glondhong pangareng-areng. Peni-peni reja peni guru bakal guru dadi mas picis rajabrana minangka panungkul. Sinten ta jujuluking narendra ingkang anglenggahi dhamparing kaprabon. Wenang den ucapna jujuluking nata, ajejuluk Prabu Sri Batara Kresna, Harimurti, Padmanaba, Kesawa, Narayana, Wasudewa, Wisnumurti, Danardana, Janardana. Mila jejuluk Sri Batara Kresna, dene cemeng sarirane trus balung sungsum ludirane, yen ayama ayam cemani, kenging kinarya sarana. Nadyan Srinata dadi sarana ungguling prang Bharatayuda darah Pandhawa. Arimurti luwih padhang, dene wruh sadurunge winarah. contoh janturan: Ing pagelaran Jawi andher sowane para mantra bupati beg amber mbalapar ngantos dumugi sanjawining taratag kaya ndhoyong-ndhoyongna pancake sujining alun-alun para wadya kang samya nangkil. Abra busananing wadya yayah sekar setaman. Ing alun-alun papanjen umbul-umbul bendhera lalayu paying agung miwah bawat tinon angendanu pindha mendhung kaya nyurem-nyuremna sorote Sang Hyang Pratanggapati. Dene ingkang anindhihi ing pagelaran inggih ta Rekyana patih Udawa, bagus warnane sembada prawireng yuda mumpuni salwiring guna ing aguna, putus sandining weweka dhasar ambeg paramarta tansah angresepi saisining praja marma wong sapraja wedi asih lahir trus ing batin. Kacarita ing pagedhongan sri narendra arsa mangun boja wiwaha. Lire boja dhedhaharan, wiwaha darbe karya. Yektine sang nata arsa mantu. Sinten ta ingkang den unggar-unggaring karya, tuhu rayi nata putrid ing Banoncinawi asesilih dewi wara Sembadra ginadhang dhaup lan raden Arjuna satriya ing Madukara. Keempat penutup disebut wasana menjelaskan bahwa, Sang nata akan mulai dialog (Ginem). Permainan gending berhenti 134 (suwuk). Bagian keempat penutup (wasana) contohnya adalah sebagai berikut: Ing pagedhongan sang nata sampun ndhawuhaken manguyu- uyu, mangka dereng ngaturi uninga ingkang raka nata ing Mandura Prabu Baladewa. Mila mangkana pangudyasmaraning driya “Iya jagad dewa batara, yen kaka prabu miyarsa mendah saiba dukane. Demikianlah Janturan jejer I. Di sana dijelaskan, bahwa raja Kresna akan menikahkan adik yang bernama dewi Wara Sembadra. Selanjutnya Janturan jejer II, Janturan jejer III dan seterusnya. Secara structural akan tersusun seperti pada Janturan jejer I, yaitu berupa Adangiyah, Pambuka, Isi dan diakhiri dengan penutup (Wasana). Tentunya ada perbedaan, misalnya waktunya lebih pendek secara otomatis susunan kata-katanya pun akan lebih pendek pula. Demikian juga Adangiyahnya pun tentu berbeda. Lebih-lebih isinya, pasti akan berbeda jauh. Sedangkan pambuka dan panutupnya meski berbeda, tetapi tidak terlalu jauh. Bahkan bisa juga dilakukan dengan cara mengarang sendiri, atau membaca karangan orang lain. Jika memang sudah memiliki perbendaharaan kata cukup maka Janturan jejer bisa dilakukan secara improvisasi. Namun seyogyanya tidak meninggalkan struktur. Yang tidak boleh dilupakan bahwa setiap pergantian jejer harus menggunakan singgetan (wayang gunungan ditancap di tengah- tengah jagadan), sebagai tanda aleh tempat. Sebelum kayon dicabut untuk tanda akan ke jejer lanjutan dimulai, sang dalang mengucapkan kalimat Adangiyah demikian, contoh: Anenggih sinigeg gantya ingkang winursita ing kawi, ingkang wonten nagari…, candrane kaya surya kalingan mega. (sasmita / tanda dalang minta gending Remeng Slendro pathet Nem) Selanjutnya dalang harus memilih kata untuk disusun sebagai pambuka janturan jejer lanjutan, contoh: Minangka sambunging carita, seje panggonane, nanging bareng angkate. Punika ta gelare nagari………… Sedangkan untuk isi, dalang harus melanjutkan memilih kata sebagai sarana untuk mengungkapkan kondisi alam suatu negara atau pertapaan, pedesaan yang sedang jejeran. Ada beberapa hal yang harus diucapkan sang dalang di antaranya yaitu mengenai kondisi alam dari suatu negara atau pertapaan atau pedesaan, nama raja atau nama pendeta atau tokoh pedesaan, yang sedang dialami ra135 ja, pendeta atau tokoh pedesaan. Sebagai penutup (pamungkas atau wasana) tidak berbeda jauh dengan contoh Janturan jejer I. 3.5.2 Ginem Ginem adalah dialog antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain dalam seni pertunjukkan wayang purwa Jawa. Ginem dalam pewayangan harus terucap jelas agar para penonton serta pendengar bisa mengerti dengan mudah dan memahaminya, sehingga pesan-pesan yang bersifat mendidik akan mudah diterima oleh masyarakat. Ginem dalam penyajian wayangnya diatur berdasarkan suara bilah gamelan, misalnya dalam kawasan waktu pathet Nem suara tokoh Kresna mengikuti laras pada bilah 2, dan apabila dalam lingkungan pathet Sanga mengikuti laras pada bilah 1, dalam pathet Manyura mengukuti laras pada bilah 2. Suara tokoh Duryudana dalam pathet Nem mengikuti bilah 6, dalam pathet Sanga mengikuti bilah 1 dan dalam pathet Manyura mengikuti suara bilah 6. Sedangkan tokoh wayang lainnya bisa dilakukan dengan cara mendasar pada bentuk wayang (wanda). Secara structural, ginempun juga tersusun seperti pada janturan, yaitu terdiri dari bagianbagian, yaitu Adangiyah, Pambuka, Isi, dan Wasana. Contoh ginem: Kresna : Jagad dewa batara wayah batara jagad. Nganti sapandurat kalepyan yen den adhep para nayaka myang Santana . (Adangiyah). Kulup Samba apa baya ora dadi guguping atinira ingsun piji aneng ngarsaningsun (Pambuka) Samba : Kawula nuwun-nuwun sareng kula tampi dhawuh timbalan paduka, dhahat guguping manah, nalika wonten jawi kados sinamber gelap tuna, tinubruk ing mong tuna, upami uninga gebyaring caleret tuhu mboten uninga dhawahing gelap, raosing manah kumepyur kados panjang putra dhumawahing sela kumalasa, upami kambengan salamba pinanjer ing madyaning alun-alun katiyubeng samirana sakalangkung anggen kula kumejot kumitir carob wor lan maras, sareng dumugi ing ngarsa nata, asreping manah kula kados siniram toya ing wanci enjing, babar pisan datan darbe maras. Kawula nuwun-nuwun……………… Dialog Raden Samba yang no. 2 di atas merupakan dialog yang masih berada pada bagian pambuka, dan dialog pambuka ini 136 juga diisi dengan ucapan selamat kepada kawan bicara (bage-binage). Bage-binage tersebut biasanya agak panjang, sebab tokoh yang dikelirkan juga banyak. Sekarang contoh dialog pada bagian isi. Kresna : Kulup Samba, seje ingkang ingsun pangandikake. Mungguh bakal gawene bibinira Bratajaya dhaup lan pamanira Premadi. Ing samengko kurang pirang dina, lan kang padha nindakake pakaryan tarub-tarub makajangan ing para mantri bupati sarta pondhok-pondhok apa wus rumanti? Samba : Kawula nuwun-nuwun kangjeng dewaji. An dangu badhe damelipun kanjeng bibi Bratajaya, namung kirang sacandra kalenggahan punika. Dene panggarap-ipun tarubtarub makajanganipun para mantri bupati sampun sami paripurna sadayanipun. Dalah para among tamu sarta sapasren-pasrenipun sampun sami mirantos, malah sampun wiwit manguyu-uyu. Kawula nuwun- nuwun……. Kalimat-kalimat ginem di atas hanya merupakan cuplikan saja. Berisi tentang persiapan menjelang akan adanya perhelatan perkawinan dewi Wara Sembadra. Namun yang perlu diamati adalah susunan kata-katanya yang indah, berdasarkan unggah-ungguh basa yang benar. Seperti sastra-sastra yang tergabung dalam sastra pedalangan lainnya, sastra antawacana pada bagian ginem-pun terkandung unsur-unsur purwakanthi (kalimat bersajak), tingkatan bahasa (unggah-ungguh basa), tata bahasa (paramasastra), kalimat emosional (ukara sesumbar) dan lain sebagainya. Kalau di depan diberikan contoh tentang kalimat ginem dalam kondisi yang tenang, maka dibawah ini adalah contoh ginem pada saat dua tokoh bersitegang. Dalam hal ini ki dalang saat memilih kata harus jeli, karena akan memilih kalimat emosional (ukara sesumbar). Contoh prajurit berhadapan dengan prajurit. Prajurit 1 : Hayo, yen pancen sugih kendel, bandha wani tandhingana aku Prajurit 2 : Waaaaahh, sumbarmu kaya bisa mutung wesi gligen. Kaya lanang-lananga dhewe. Apa wis sacengkang kandele kulitmu. Hayo dak teter kaluwihanmu. 137 Prajurit 1 : Heeee…… majua sayuta ngarsa, sakethi wuri ora bakal mundur sajangkah Prajurit 2 : Kopat-kapita kaya ula tapak angin, kekejer kaya manuk branjangan, lena pangendhamu kena dak saut, sabetake prabatang sirna ilang kuwandhamu! Prajurit 1 : Tumengaa ing akasa tumungkula ing pratiwi dak tebak dhadhamu sumyur….. Contoh ginem raksasa melawan satriya: Raksasa : Yen kena tak eman, hayo balia Satriya : ora gawar, ora ana kentheng sarta tan ana awer-awer kena apa ngalang-alangi laku? Raksasa : Ndhas buta pating jenggeleg kang minangka gawar kentheng Satriya : Ndhas buta pating jenggeleg dak sampar dak sandhung rambute nggubed ana ing suku dak tigas curiga lebur tanpa dadi Raksasa : We lha dala. Ora kena dieman. Wani kowe karo aku Satriya : Apa sing dak wedeni? Raksasa : He…satriyaaaa…..dhuwurmu cendhek, gedhemu cilik. Satriya : Ora ana satriya Nempiling ndhase buta ndadak nganggo ancik-ancik Raksasa : Kecek sugih japa mantra Satriya : Ora watak satriya maguru bathangmu Raksasa : Ngati-ati dak paribasakake timun mungsuh duren dak bruki remuk dak glundhungi ajur Kalimat-kalimat ginem di atas dalam kasusasteraan Jawa sering direkayasa menjadi kalimat tembang Macapat. Misalnya cerita Partakrama R.Ng. Sindusastra ada yang dibentuk dalam tembang. Tembang Pangkur: Denira arsa mangsulana, Wrekodara krodha sru turireki, Eh pambarep kadangingsun, Aja mangsuli sira, Ingsun ingkang mangsuli prakara iku, During tutug wong Astina, Nggone ngajak ora becik. Tekan si Bule Mandura, Wiwit milu-milu atining iblis, 138 Jalithenge teka katut, Yen pareng karsanira, Si Janaka ingsun arak sesuk esuk, Sarta sun payungi gada, Sun iring kaprabon jurit. Pangantene wadon kana, Si Bule kang amayungana bindi, Kurang kurawa kang wuwuh, Kang njajari gegaman, Mring panganten sun tunjange ganjuringsun, Singa tiwas ing ayuda, Kang raka datan nauri. 3.5.3 Pocapan Seorang dalang disamping mengucapkan janturan jejer juga sering memberikan penjelasan kepada para penonton atau pendengar dengan melalui sebuah narasi yang mengungkapkan tentang kejadian di suatu tempat atau kejadian yang sedang dilakukan oleh seorang tokoh wayang, atau kejadian itu baru akan dijalankan. Ungkapan- ungkapan melalui narasi itulah yang dimaksud dengan pocapan (pa-ucap-an atau pa-omong-an). Kalimat kejadian yang dimaksud adalah seorang tokoh bertamu, seorang tokoh melamun, bersemedi, seorang tokoh dirundung kesedihan, seorang tokoh yang sedang jatuh cinta (gandrung), seorang tokoh yang akan berangkat ke medan perang, kejadian sesudah perang, kejadian sedang geger, bencana alam, dan masih banyak lagi yang lainnya. Contoh pocapan seorang tokoh yang bertamu ke suatu negara, Prabu Baladewa bertamu ke suatu negera.......,biasanya pocapan dimulai dari negara yang akan menerima kehadiran Prabu Balawadewa, misalnya: Reg reg reg, wauta gumeder, gumarenggeng, gumuruh swaraning janma padha salang-tunjang kaya gabah den iteri kaya jebug sinemburan, bledug mangampak-ampak, cingak para mantra bupati kang padha sumewa temahan sami taken tinakenan “hehehe dialon kanca, dialon kanca..” Pocapan di atas terungkap untuk penggambaran di pihak negara yang akan kedatangan tamu. Hal Ini dilakukan sebagai tanda hormat suatu negara kepada Prabu Baladewa. Selanjutnya apabila tamu sudah berada di dalan pasewakan, dalang kembali pocapan, misalnya: Lah ing kana ta wau, dupi srinarendra kakalih nenggih Prabu Duryudana kalayan Prabu Baladewa sampun aben ajeng nulya gapyuk rerangkulan samya kangen-kangenan. 139 Saparipurnaning rerangkulan nulya samya lenggah sekeca. Kakalih-kalihipun yen sinawang saking mandrawa candrane pindha Sang Hyang Bhathara Sambu miwah Bhathara Brahma angejawantah neng jagad sigra andum bagya. Prabu Baladewa rawuh ing nagari Astina mahanani sepi sidhem ing pasewakan wit kaprabawan maring pangaribawaning nata Mandura kang amengku gati. Mangkana pangandikane prabu Duryudana : “kaka prabu, sakecakna”! Pocapan / Kandha Bedholan Jejer I (gaya Jawatimuran) Parpurna pangandikaning sang nata Sri Batara Kresna sigra paring sasmita kundur angedhaton. Tedhak jog saking palenggahan “dhampar dhenta” Kadherekaken para emban cethi biyada srimpi manggung ketanggung jaka palara-lara, sami ngampil pirantining kanarendran. Tindake sang nata ngagem bungkul kencana, keclap-keclap kinarya tindak amecak. Sapecak mandheg sapecak tumoleh. Sri nata datan karsa mriksani adi rengganing gapura. Laju manjing kadhaton trus kadhatulaya, kapapag garwa prameswari tetiga. Sagunging para seba nuli bibaran saking sitinggil solahe kaya seinamberan dhandhang. (Ki Dalang Cung Wartanu, Mojokerto-an 1979) Pocapan / Kandha Semedi Sri Batara Kresna dupi manjing kedhaton sarta sampun kapapag ingkang garwa tetiga nulya manjing sanggar pamujan sarwi ngagem busana sarwa seta, sigra nenuwun dhateng panguwasane batara srana semedi. Traping Semedi kanthi sedhakep asta, suku tunggal. Sedhakep wus ngarani, asta tangan, tunggal kumpul. Tegese Srinata ngeningaken ciptane, ngempalaken pancaindriyane nutupi babahan hawa sanga. Mandeng pucake grana mandeng nyawang, pucak pucuk, grana irung. Lire sajuga kang sinidikara. Keplasing cipta amung sawiji kang sinedya, sowan marang ngarsane Sang Hyang Pramesthi Guru, amung nyuwun pangayoman mrih wudharing reruwet. (Ki Dalang Cung Wartanu 1979) Kandha / Pocapan Ajar Kayon Bubaring para seba kanthi tandha tengara panabuhe beri, swarane gumonthang mengungkang-ungkang saksad sundhul ing akasa.Tineteg, tinitir kaya pecaha-pecaha, kaya butul-butula. Sepisan tandha pasewakan bubaran, ping pin140 dho pratandha ana prakara. Patih Kala Rangsang duta saking nagari Rancang Kencana dutane Prabu Kala Kumara sigra den pilara Prabu Baladewa. Mila ribut sagung para seba. Pating sliri pating bilungkung pindha kawula ngluru bendara, bendara ngluru kawula. Solah nganti kaya gabah den interi. Golong-golong mangulon, golong-golong mangetan candrane kaya sela blekithi. Sela arane watu, blekithi semut, kaya semut lumaku ana sak ndhuwure watu mujudake barisan kaya prajurit ngadhepi bebaya. (Ki Dalang Cung Wartanu 1979) Pocapan Kresna Semedi Kacarita, Sri Batara Kresna sigra patrap semedi maladi hening, sedhakep saluku juga nutupi bahahan hawa sanga, ngeningaken pancadriya. Panca ateges lima, driya pangangen- angen, sekawan kang binengkas sajuga kang sinidikara anut lebu wetuning bajra herawana kinarya nut laksitaning brata, ana rupa tan dinulu ana ganda tan ingambu, ana swara tan rinungu. Hanapas hanupus pan yayah mati sajroning urip, amung warana ingkang taksih lumaris, campur kalayan layap liyeping aluyup, pindha pesating sukma sumusup ing rasa jati sejatine tumlawung. Jagad wus rinegem dadi sawiji amung kari samrica binubud. Dudu jagad kang gumelar, nanging jagade Sri Kresna kang wus datan kaendhih dening Sir-Budi-Cipta-Rasa, amung kari satata nedya hormat ingkang tanpa karana. Datan antara dangu wus antuk wewengan bakal kasembadan sasedyane nanging yaamung sinimpen ing driya, temahan amung nalangsa marang kang akarya jagad saisine. Dhasar Sri Batara Kresna narendra kang widagda ulah puja. (Kastana-Supriyono-Partakrama Pakeliran Gaya Surakarta 2003) Demikianlah beberapa contoh pocapan. Sebenarnya masih banyak lagi pocapan yang harus ditampilkan dan diungkapkan oleh dalang selama penyajiannya. Hampir setiap jejeran dan adegan dari awal hingga akhir pertunjukkan, dalang selalu bernarasi (pocapan). Ada pocapan yang dalam suasana tenang, merdeka tetapi juga ada pocapan yang bersitegang, keras, emosional sehingga dalam sajian harus bersama dengan dhodhogan kothak dan ucapannya lebih keras. Para ahli nabuh gamelan mengatakan bahwa grimingan gender, dalam mengiringi pocapan yang tegang, harus grimingan ada-ada (vokal dalang dalam suasana tegang), misalnya pocapan tokoh Gathotkaca ketika akan terbang. Demikian juga pocapan tokoh Wrekodara mlumpat (meloncat) dan ketika seorang bang-bangan (bambangan) akan masuk hutan (alas-alasan) dalam suasana 141 tegang, maka dhodhogan, grimingan gender ada-ada harus mengiringinya. Berbeda dengan pocapan yang dalam susana merdeka, maka grimingan gender menggunakan grimingan pathetan, tanpa dhodhogan kothak. Dalam pertunjukkan wayang kulit Jawatimuran, pocapan ini pasti ditopang dengan iringan gending/lagu yang dilagukan oleh alat gamelan yang lembut: slenthem, gambang, siter, gender babok, suling yang diawali gender lanang yang dinamakan gadhingan. Contoh pocapan alas-alas : Laju lampahira wong bagus sang hamara tapa satriya ing Plangkawati kekasih Raden Angkawijaya ya Raden Abimanyu, kadherekaken abdi panakawan catur Semar-Gareng- Petruk lan Bagong. Purna angambah geriting ancala tepining waudadi. Sigra laju manjing wana wasa. Wana gung liwang liwung alas angker gawat kaliwat sabab dadya panonopane jim setan peri parayangan engklek-engklek balung atandhak. Bebasan sato mara sato mati, janma mara janma mlayu.Tan ana janma wani mlebu mring wana Tri Baya, sapa wani bebasan mulih kari aran. Nanging dupi katrajang marang lampahe sang abagus Raden Angkawijaya sadaya buron alas samya bubar lumajar salang tunjang. Yen ta bisa tatajalma teka mangkana pangucape: ”He para kanca padha piyak sumingkira, aja wani-wani midak wayangane mesthi lebur tanpa dadi, sabab iki dudu wong lumrah nanging maksih turasing kusuma rembese madu, wijiling kang handanawa rih.” Sak-sak-sak-sak gropak gedebug sanalika kaya sinapon jumedhule para raseksa sigra ngamuk panggung marga liwung. Pocapan alas-alasan di atas dapat dipakai untuk bambangan yang lain. Artinya bukan hanya tokoh Abimanyu saja.Tokoh pewayangan yang tergolong bambangan kecuali Abimanyu yaitu Raden Irawan, Bambang Priyambada, Pramusinta, Nakula dan Sadewa ketika masih muda dan mungkin masih ada lagi. Disebut tokoh bambangan karena usia tokoh tersebut masih muda, masih sendirian dan baru saja lolos dari perguruan di mana sebagai gurunya adalah seorang pandhita, pertapa, begawan, resi, maharsi, wasi dsb. Sebutan bambangan berasal dari bahasa Jawa. bang-bang-an yang mulanya dari kata bang berarti harap. Bang-bang-an berarti pengharapan. Gelar atau sebutan bang-bang-an (bambangan) diperoleh oleh seorang pemuda yang sudah memiliki semua ilmu pengetahuan, perang dan berulah senjata, guna kasantikan, pengetahuan tentang lahir dan batin (kesaktian) yang didapat dari seorang guru/pendeta di 142 pertapaan. Pertapaan (pertapan) biasanya berada pada tempat jauh dari kehidupan masyarakat ramai atau jauh dari kota, dan pada umumnya pertapaan berada di lereng gunung, di tepi hutan dan di pedasaan. Oleh karena itu bambangan sering disebut satriya gunung. Bila hal ini dilakukan oleh seorang gadis, maka gadis itu mendapatkan sebutan/gelar yaitu Endang yang artinya gadis gunung. Jadi pada hakikatnya satriya gunung atau gadis gunung adalah sebuah generasi harapan yang harus bisa dan mampu untuk meneruskan perjuangan para generasi sebelumnya. Bila generasi bambangan ini merupakan generasi harapan maka lamanya pendidikan tidak ditentukan oleh waktu bulan atau tahun, melainkan sangat tergantung kepada calon bambangan itu sendiri. Mereka dituntut menjadi seorang bang-bangan (bambangan) yang berkualitas. Sang guru pun ikut menentukan bagi selesainya para calon bambangan. Bila sang guru sudah mengatakan bagus (paripurna) maka sang bambangan bisa melanjutkan kariernya sebagai satriya yang harus menunjukkan karya-karyanya bagi keluhuran nusa dan bangsa. Mengamati kondisi bambangan yang begitu berkualitas, maka para dalang dalam penggambaran pocapan bambangan diungkapkan melalui pemilihan kata dengan bahasa Jawa yang luhur dan lungguh (pantas). Dalam pocapan bambangan ini, sang dalang harus mengucapkan dengan bersama-sama dhodhogan dan dengan nada emosional. Demikian pocapan yang penyajiannya sebagai narasi, menjelaskan sebuah perilaku seorang tokoh pewayangan Oleh Supriyono dkk, Pedalangan untuk Sekolah Kejuruan Jilid 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar